Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang (dok. pribadi) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-Dewasa ini, politik dinasti menjadi sebuah topi yang menarik untuk di bahas, sebabl pembangunan politik dinasti masih mempertahankan status Kuo dengan mengandalkan kekuatan, Kerabat berdasarkan pupuliritas, suku, jaringan kuasa informal, kerajaan pada umumnya.
Maraknya politik dinasti di Bima menarik untuk di bahas oleh semua kalangan, praktik politik dinasti buka hanya menutupi ruang demokrasi bagi masyarakat lokal akan tetapi juga berkontraksi dengan negara Indonesia yang menganut sistim demokrasi pancasila. Fenomena politik dinasti perlu dilirik oleh masyarat bahwa politik dinasti akan menjadi sebuah jurang bagi keberlangsungan demokrasi di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.
Tren kebangkitan politik dinasti berawal dengan keberlakuan Undang-undang Otonomi Daerah untuk mewudkan demokrasi dengan cara melakukan pilihan umu secara terbuka yang pertama kali pada Tahun 2005 (Wasisto dalam Efendi 2018). Keberlakuan UU tersebut justru memunculkan para elit-elit politik lokal untuk menunjukan taringnya mempengaruhi kekuasan politik dalam tingkat lokal. Perkembangan politik dinasti tidak menutupi kemungkinan akan menjadi suatu pemerintahan yang otoriter dengan membangun kekuatan Keluarga Cendana di tingkat lokal seperti pola pemerintahan yang di lakukan oleh Suharto pada Orde Baru.
Pola kekuasan yang di bangun oleh penguasa Bima saat ini dengan dengan cara yang tidak lazim mengisi struktur kekuasa dan Pos-pos penting sebagai strategis kekuasan di isi oleh keluarga, anak, kerabat lainya, karena dengan begitu kekuasaan akan terus langgeng di tangan para penguasa Bima.
Penulis
Yusuf, S.Pd (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang).