Foto Penulis |
Narasi Indonesia.Com, Malang-Teori Ashobiyah ini merupakan salah satu teori yang populer yang dimiliki oleh salah satu tokoh pemikir politik Islam, beliau adalah Ibn Khaldun yang lahir di negara Tunisia, beliau dibesarkan dari kalangan keluarga yang mendalami agama. Ketika dalam masa pendidikanya beliau mempelajari ilmu Al-Qur,an dan Tajwid, selain itu beliau juga belajar mempelajari tentang kaidah-kaidah Bahasa Arab. Beliau sudah mulai masuk dalam dinamika politik ketika para pemimpin pemerintah Tunisia hijrah ke Marocco, sejak saat itu beliau di angkat menjadi sekretaris sultan dinasti Hafs, sewalaupun karir politik beliau menagalami naik turun sampai akhir hayatnya. Tapi, semasa hidup beliau memiliki teori yang paling populer yakni Ashobiyah atau yang lebih dikenal dengan solidaritas tinggi.
Dalam pandangan beliau maju mundurnya suatu masyarakat bukan disebabkan keberhasilan atau kegagalan sang penguasa atau pemimpin, atau akibat peristiwa kebetulan atau takdir tapi beliau menegaskan bahwasanya aspek solidaritas sosial yang lebih di depankan dalam hal perubahan sosial.
Ibn Khaldun menjelaskan secara detail terkait dengan pemikiran Ashobiyah ini, secara bahasa ashobiyah berasal dari ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsinya ashobiyah merujuk pada hubungan sosial budaya dipakai untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Terlepas itu, ashobiyah bisa di ilhami sebagai solidaritas sosial. Dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.
Sewalaupun dalam teorinya Ibn Khaldun adalah membahas bagaimana tahapan kehancuran sebuah negara dalam proses dan dinamikanya, sampai pada tahapan kehancuran. Tapi, dalam pandangan saya teori Ibn Khaldun ini sangat cocok untuk dipakai ketika melakukan analisis dinamika sosial di suatu daerah, salah satu contohnya bisa di pakai ketika mengkaji permasalahan sosial di daerah Bima.
Bima suatu daerah tentu memiliki suatu proses dinamika sosial masing-masing, entah itu dari segi kekuaranganya atau kelebihanya. Saya sebagai orang Bima mencoba memberikan kontribusi pemikiran sebagai tanda balas jasa karna merasa sangat bersyukur sekali dilahirkan di tanah Bima yang memiliki Sumber daya manusia yang beragam, sehingga memiliki corak kehidupan yang beragam pula. Satu hal yang paling penting juga yang harus kita pahami bersama, setiap orang memiliki cara masing-masing dalam memberikan kontribusinya kepada daerahnya, mengkritiknya pun itu menjadi sebagian dari mencintai daerahnya karena mengkritik merupakan bagian dari mencintai.
Berbicara mengenai daerah Bima tentu memiliki sejarah panjang dalam dinamika sosialnya. Dalam fase awal-awal terbentuknya daerah Bima masyarakatnya memilki solidaritas tinggi dalam menjalankan aktivitas sosialnya, itu bisa kita lihat dengan adanya rekan jejak bagaimana masyarakat Bima pada saat itu solidaritas sosialnya begitu tinggi, contohnya: mereka membangun waduk secara gotong royong, membangun jalan raya secara bersama-sama, membangun rumah secara gotong-royong, segala sesuatu mereka melakukanya secara gotong royong.
Perilaku masyarakat Bima pada zaman terbentuknya daerah Bima sesuai dengan istilah Ashobiyah yang bermakna positif yang mengarah kepada persaudaraan, dan sesuai juga dengan ajaran Islam yang membangun solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama dan mengesampingkan kepentingan individu. Tapi, seiring perkembangan zaman, era modern ini jiwa solidaritas tinggi yang sangat di junjung tinggi oleh masyarakat Bima sudah mulai pudar dan bahkan sudah mulai masuk fase punahnya solidaritas tinggi yang dimiliki oleh masyarakat Bima.
Saya sendiri bukan merasa pesimis dengan proses perubahan sosial di daerah Bima, tetapi itu bisa kita lihat dan perhatikan secara seksama. Daerah Bima memilki simbol yang sangat populer yakni MAJA LABO DAHU, kalau kita memaknai simbol orang Bima ini begitu mendalam dalam berkehidupan sosial. MAJA LABO DAHU ini memilki arti malu dan takut, secara harfiah dikonsepkan untuk sebuah sikap moral manusia untuk merasa malu terhadap tindakan yang menyimpang, atau yang melanggar hukum baik, hukum agama, hukum negara dan yang paling dihayati dan direfleksikan terkait etika sosial budaya.
Melihat etika sosial budaya kita sudah jauh dari kata MAJA LABO DAHU, itu bisa kita cermati di setiap Desa ataupun di setiap sudut masyarakat Bima bagaimana etika sosial dan budayanya yang menurun dengan maraknya permasalahan sosial seperti tindakan diskriminasi antara kelompok, perjudian yang semakin meraja lela, konsumsi narkoba diseluruh elemen masyarakat bahkan di ranah pemerintah menkonsumsi narkoba. Belum lagi permasalahan sosial adu domba yang dilakukan oleh para penguasa di Bima untuk menciptakan kericuhan antara kelompok, yang paling parah di ranah pemahaman generasi terkait dengan agama.
Daerah Bima merupakan salah satu daerah yang memiliki masyarakat yang pemeluk agama Islamnya bisa dikatakan banyak, dan bahkan hampir seluruh masyarakat Bima memeluk agama Islam, itu bisa dilihat dengan angka masyarakat Bima memeluk agama Islam mencapai 98%. Tapi, di era modern sekarang masyarakat Bima yang banyak memeluk agama Islam itu berbanding terbalik dengan pemahaman mengenai Islam yang minim di kalangan masyarakat Bima. Hal itu dikarenakan pergaulan generasi di Bima yang jauh dari norma- norma agama Islam. Jika dulu banyak generasi yang bergerombolan datang ke tempat pengajian Al-qur’an (TPA) dan bahkan generasi pada zaman itu berlomba-lomba untuk mengikuti MTQ untuk meraih menjadi yang terbaik.
Dekade, anehnya generasinya sudah berbanding terbalik, generasi di Bima sebagian besar bahkan tidak kenal yang namanya TPA apalagi mau belajar Al-qur’an. Pun demikian dalam mengikuti lomba MTQ sudah tidak ada sama sekali generasi Bima yang mau mengikutinya.
Gejolak kondisi masyarakat Bima sesuai dengan pemikiran Ibn Khaldun, dalam pandangan beliau proses generasi yang pertama, mereka yang merupakan kelompok perintis yang membuka ruang dan jalan, atau yang medirikan negara, begitu juga yang terjadi di masyarakat Bima yang saya paparkan tadi terkait dengan awal-awal pembentukkan daerah Bima, itu termasuk generasi pertama, karena mereka yang membangunya secara bersama-sama. Terus di generasi kedua, dimana kemenangan, kemegahan tidak lagi menjadi milik bersama seperti halnya di generasi pertama.
Kemewehan dan kemegahan itu sudah menjadi milik orang-orang tertentu, sehingga membuat unsur ashobiyah punah. Begitu juga dengan kondisi Bima di era modern seperti yang saya paparkan di atas sudah masuk dalam generasi kedua. Karena masyarakat Bima sekarang sudah sifat dan karakternya selalu ingin menang sendiri sehingga hal itu yang membuat ekspoitasi antara manusia satu dengan manusia yang lain.
Dengan kondisi masyarakat Bima yang sekarang seperti yang saya paparkan di atas tidak akan mungkin meraih cita-citanya untuk menciptakan Bima yang berkemajuan semasih etika sosialnya menurun. Maka dari itu untuk menciptakan Bima yang berkemajuan masyarakat Bima harus bekerja sama di seluruh elemen masyarakat untuk menciptakan kembali solidaritas tinggi yang dulu dimiliki oleh masyarakat Bima. Lebih-lebih untuk pemerintah di Bima harus menjadi aktor intelektual ataupun figur untuk mencapai Bima yang berkemajuan. Seperti halnya menyiapkan fasilitas yang mendukung untuk proses edukasi non-formal untuk generasi di Bima, mengsosialisasikan hal-hal atau barang- barang yang negatif untuk perkembangan generasinya terhambat seperti Narkoba, dan memberitahu dampaknya seperti apa.?
Penulis:
HERMAN/BIMA MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
DC /NI