Suci Ramadhani, Duta Kesehatan Mental Indonesia LPI, (dok. pribadi) |
Narasi Indonesia.com, MALANG- Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang keberadaan penyakit mental yang muncul di masyarakat namun masih dianggap aib oleh keluarga dan sesuatu hal yang tabu di kalangan masyarakat. Hal ini menimbulkan stigma yang masih mengelilingi masyarakat bahwa kesehatan mental itu tidak penting. Padahal, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Mental yang sehat akan membuat pikiran menjadi positif sehingga tubuh akan berfungsi dengan baik secara emosional, psikologis, sosial dan akan mempengaruhi cara berfikir, merasakan,dan berperilaku.
Menurut Undang Undang No.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa, Kesehatan jiwa adalah kondisi di mana seseorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Lingkungan merupakan faktor yang sangat penting dalam
meningkatkan kesehatan mental individu, jika seseorang berada dalam lingkungan
yang positif, maka kesehatan mental seseorang juga akan positif, begitu juga
sebaliknya. Pandangan masyarakat yang masih sangat kurang terhadap kesehatan
mental, karena faktanya kesehatan mental ini masih diabaikan dan dianggap tidak
penting padahal kedudukan antara kesehatan mental dan kesehatan fisik sama
pentingnya bagi kehidupan.
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi gangguan
jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil. Hal ini berarti, 1-2 orang dari
1000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat (Viora dalam Ika, 2015).
Pada saat 2013, pengobatan gangguan jiwa tercatat bahwa kurang dari 10% orang
yang mengalami gangguan jiwa mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan.
Angka yang dapat dikatakan jauh dari harapan. Di tahun 2018, survei yang
dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar, prevalensi gangguan jiwa berat meningkat
secara signifikan menjadi 7 per mil, yang artinya 7 dari 1000 penduduk Indonesia
mengalami gangguan jiwa berat (Depkes, 2018), atau meningkat 312% dari tahun 2013.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, juga menunjukkan lebih dari 19 juta
penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan
lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi
(Rokom, 2021). Data tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia belum dapat
menyelesaikan masalah kesehatan mental secara tepat serta adanya pandemi justru
meningkatkan penderita gangguan jiwa, yang jika dibiarkan akan berdampak
negatif.
Beberapa tahun terakhir tingkat kasus bunuh diri yang terjadi di Bima pun semakin meningkat. Berdasarkan informasi dari program pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas Jatibaru, jumlah keseluruhan kasus jiwa mencapai 122 kasus dengan kasus tertinggi adalah skizofrenia sebanyak 83 kasus, kasus insomnia 29 kasus, dan sisanya adalah kasus gangguan psikotik akut, depresi, dan ansietas. Tidak sedikit masalah kesehatan jiwa tersebut dialami oleh usia produktif, bahkan sejak usia remaja. Salah satu penyebab depresi pada remaja itu kebanyakan disebabkan oleh beberapa faktor seperti terlalu banyak pikiran, faktor lingkungan, trauma, ataupun perubahan hormon.
Jika individu merasakan sesuatu yang beda dari sebelumnya, misalnya konsentrasi belajar kurang, sering merasa sedih dan bahagia secara over, kehilangan semangat dan motivasi dalam beraktivitas, dan sering merasa tersinggung bahkan dengan hal-hal yang sebelumnya pernah dijadikan sebuah lelucon, bahkan sudah sampai ke tahap self-harm, tapi masih saja merasa mumet dan malas jangan ragu buat cari "Professional Help". Sadar bahwa mental health itu naik turun, kadang juga merasa ok dan kadang merasa ngga dan itu tidak akan pernah off jika terus-terusan merasa bahwa "sudah biasa, dan ini tidak sama sekali penting".
Masing-masing dari individu tentunya pernah mengalami
masalah dan tentunya memiliki cara masing-masing untuk mengatasi masalah yang
sedang dialami. Ada yang menyelesaikan masalah dengan mengatasi sendiri dengan
cara melakukan hobi, mendengarkan musik, dan bahkan menulis buku. Namun, tak
jarang individu yang memiliki masalah juga menyelesaikan masalahnya dengan
membutuhkan teman, sahabat, keluarga, atau bahkan pasangan. Namun, jika sudah berusaha meminta tolong
terhadap orang-orang terdekat namun
tidak menunjukkan progres yang baik dalam penyelesain masalah pada saat itu
jangan takut untuk meminta bantuan konselor.
Dari kondisi tersebut, sudah seharusnya masyarakat lebih
peduli lagi akan pentingnya kesehatan mental. Jadi, mulai sekarang jangan lagi
meremehkan dan menggampangkan isu kesehatan mental kita. Kalau bukan diri kita
sendiri yang merawat dan menjaga diri kita siapa lagi?
Penulis
Suci Ramdhani (Sekretaris Umum MADASANCAMBA)