Dr. Syafril, M.Pd. Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Mataram (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, MATARAM-Saya pernah menulis tentang bencana lingkungan hidup akibat perilaku manusia saat masih kuliah Pendidikan Geografi di Malang. Acapkali kita mendengar keluhan orang di sekitar kita. Bahkan mungkin kita sendiri pernah mengatakan bahwa banjir akibat hujan yang lama dan deras. Lalu, kadang isi pemberitaan menyatakan bahwa hanyutnya rumah nelayan di area shore line (garis pantai) disebabkan karena banjir rob yang berlebih. Cuaca buruk juga sering menjadi kambing hitam. Masih banyak lagi keluhan manusia yang selalu menyalahkan alam dalam merespon kejadian bencana alam yang terjadi di sekitar tempat tinggal dan di berbagai berita online maupun offline.
Keluhan tersebut bukan salah, melainkan berlebihan. Alam sesungguhnya bekerja mengikuti hukum alam. Air mengalir, menguap, dan turun sesuai dengan hukum fisika. Angin berhembus mengikuti perubahan suhu dan tekanan suatu tempat. Jika terjadi anomali pada alam, maka air, angin, tanah, batu akan mengikuti arah anomali tersebut. Lalu, siapa sebenarnya pelaku yang menyebabkan banyak terjadi anomali pada alam, sehingga reaksi alam menjadi tampak lebih tidak bersahabat dengan aktivitas manusia? Pada saat musim hujan terjadi banjir di mana-mana. Pun begitu di musim kemarau, air bersih sangat langka-tanah-tanah mengering sehingga petani kesulitan melakukan aktivitas bercocok tanam.
Gagal panen, kekeringan, banjir bandang, tanah longsor, badai, banjir rob, dan sebagainya senantiasa menyertai aktivitas kita di bumi. Ajakan untuk Resilliance dan beradaptasi dengan bencana tidak cukup. Perlu suatu perilaku hidup yang baik dari kita pada alam agar reaksi alam senantiasa normal. Perilaku illegal logging, illegal fishing, illegal minning, illegal hunting, boros penggunaan AC, boros berkendaraan yang menggunakan karbon dioksida, boros parfum beralkohol, membuang sampah pada sembarangan, boros penggunaan plastik, penggunaan air (mandi, cuci, kakus, dll) yang berlebih, alih fungsi lahan produktif, dan sebagainya. Semua itu adalah perilaku manusia yang harus dikendalikan dan dikelola dengan baik agar alam tidak terus menerus bereaksi negatif.
Alam memiliki formula sendiri
Alam ini sesungguhnya telah diatur menggunakan formula silogisme (jika dan maka). Silogisme itu diatur dengan tertib oleh manusia sebagai pengendali dan pengatur jagad raya ini. Manusia sejatinya adalah raja di bumi. Intruksi dan perilaku manusialah yang membuat reaksi alam menjadi A, B, atau C.
Perhatikan ketika memasuki era paradigma antroposentris menggantikan theosentris yang doktrinative, maka kehidupan di bumi mulai syarat dengan motivasi manusia untuk menguasai alam dan isinya. Melalui ilmu pengetahuan manusia melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada sumberdaya alam. Tidak disadari bahwa eksplorasi dan eksploitasi yang melampaui batas daya dukung alam akan berpengaruh pada reaksi alam. Hingga di abad kontemporer ini perilaku manusia masih sangat jelas sikap rakus pada alam dan rapuh pada etika lingkungan. Jika sifat rakus pada potensi alam masih konsisten, maka alam akan bereaksi negatif pada pelaku perusakan tersebut. Itulah yang disebut sebagai formulasi alam.
Sikap yang harus diambil
Para pemimpin dunia dan negara harus segera sadar pada lingkungan yang sedang terancam ini. Sikap hedonis (eksplorasi dan eksploitasi yang berlebihan) boleh jadi akan membuat fenomena catastrophisme alam (George Cuvier, 1796) menjadi kenyataan. Sebuah “kiamat akibat ulah manusia”. Para pemimpin dunia harus membuat kesepakatan-kesepakatan secara konsisten dan dengan komitmen yang tinggi untuk mengendalikan perilaku warga negaranya yang condong materialistik dan hedonistik ini. Kesepakatan di Rio de Jenero, kesepakatan dalam Protokol of Kyoto, adalah Kesepakatan di Bali adalah suatu langkah sadar dari pemimpin dunia dalam merespon fenomena climate change. Hanya tinggal good will dan political will dari semua negara untuk merealisasikan kesepakatan tersebut.
Berita terkini tentang mencairnya lapisan Es di kutub utara dan makin berkurangnya lapisan ozon di atmosfer adalah fenomena yang bukan sederhana. Itu adalah fenomena yang dapat mengancam eksistensi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Fenomena global warming dan green house effect adalah fenomena yang secara signifikan dapat mempengaruhi aktivitas dan stabilitas kehidupan semua makhluk hidup di bumi.
Berdasarkan studi yang diterbitkan di Jurnal Nature, mencairnya es di Greenland akan berkontribusi besar terhadap kenaikan permukaan laut global hingga 13 cm pada tahun 2100. “Setiap permukaan laut global naik 1 cm, akan ada 6 juta orang yang bakal kebanjiran, terutama yang tinggal di pesisir,” demikian dikatakan oleh Andrew Shepherd, peneliti iklim dari University of Leeds-Inggris.
Sementara itu, menipisnya lapisan Ozon (O3) berdampak pada masuknya sinar UV (ultra violet) matahari langsung ke Bumi. Sinar UV yang langsung ke bumi menyebabkan kondisi kehidupan di bumi terancam dengan berbagai jenis penyakit karena gejala devisiensi imun, terganggunya keseimbangan ekosistem, meningkatnya panas bumi dan laut, serta terganggunya siklus biokimia.
Semua kejadian tersebut bermula dari sikap hidup manusia yang cenderung materialistik dan hedonis. Sekarang sebelum semuanya terlambat, maka kita semua harus segera kembali menyadari bahwa manusia dan alam memiliki hubungan yang saling ketergantungan (interdependen). Respon alam akan baik jika manusia memperlakukan alam dengan wajar dan proporsional, sebaliknya alam akan bereaksi negatif jika manusia memperlakukannya dengan tanpa nilai dan etika. Jadi semua kejadian bencana tergantung pada manusia, bukan pada alam. Allah SWT berfirman dalam Q.S Arrum ayat 41 bahwa telah tampak kerusakan di bumi dan di laut adalah akibat ulah tangan manusia. Untuk itu kita sebagai manusia harus segera berubah karena tanpa ikhtiar perubahan dari manusia niscaya Allah tidak akan mengubah kondisi alam yang sedang kritis ini ke arah yang lebih baik. Demikianlah subtansi pesan Allah melalui firmanNya dalam Q.S Arra’du (13) ayat 11.*
Penulis
Dr. Syafril (Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Mataram)
Editor
Monta/NI