Eko Saputra (dok. pribadi) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-Sejak 2020, NTB telah memulai program industrialisasi di tingkat pelaku usaha IKM/UMKM dalam upaya pemulihan ekonomi daerah. Konsep industrialisasi yang ditawarkan oleh Gubernur Bang Zul sejatinya bukanlah industrialisasi dalam skala besar atau pabrik, tetapi industrialisasi yang dilakukan oleh skala IKM/UMKM yang dimana dapat memberi nilai tambah terhadap produk pangan NTB.
Mulanya, Industrialisasi tersebut adalah industrialisasi kerakyatan yang memihak dan membela kepentingan rakyat para penggiat IKM/UMKM yang bertujuan untuk pembangunan ekonomi NTB yang merata, adil, dan sejahtera. Maksudnya, dengan adanya industrialisasi yang bersifat Industri kerakyatan dapat menjadi solusi untuk memberantas kemiskinan, pengangguran, dan bahkan menjadi salah satu program yang akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di Nusa Tenggara Barat.
Namun celakanya, tawaran tersebut masih belum dimaksimalkan oleh Dinas Perindustrian NTB. Industrialisasi yang diurus oleh Dinas Perindustrian NTB ke masyarakat dapat dikatakan tidak sampai dengan baik melihat kondisi masyarakat yang kurang mengetahui arti dari Industrialisasi yang menjadi program unggulan Gubernur. Niatan dan gagasan bagus yang ditawarkan oleh Gubernur tidak disampaikan dengan baik oleh Dinas Perindustrian NTB kepada masyarakat, sehingga menimbulkan tafsiran yang berbeda antara masyarakat dengan Gubernur.
Dari sisi pelaksanannya, Dinas Perindustrian NTB selaku birokrasi dalam menjalankan proses industrialisasi tidak tepat sasaran. Dalam hal ini industrialisasi yang digaungkan oleh dinas perindustrian masih melihat sektor pangan sebagai langkah nomor 2 dibandingkan dengan sektor- sektor lainnya, sementara sektor pangan merupakan ruang lingkup industri prioritas.
Alhasil, produk pemberdayaan dinas perinduatrian tidak sesuai dengan permintaan pasar: supply creates its own demand, yang dimana produk tersebut tidak dapat menciptakan pasarnya sendiri. Artinya, Dinas NTB hanya asal-asalan menjalankan konsep industrialisasi, sementara belum menata pasar untuk produksi barang tersebut berbasis sumber daya.
Dari sisi pemberdayaan, dinas terkesan hanya memberdayakan IKM/UMKM yang bergerak di sektor- sektor sekunder atau tersier ketimbang lebih fokus pada sektor primer (pangan). Padahal di sektor pangan peluang pasarnya sangat tinggi. Jika itu diolah dengan baik, maka NTB akan menjadi daerah produsen pangan.
Sebagi contoh yang terjadi pada tahun 2021, ketika musim panen harga bawang di Bima anjlok ke harga Rp 5.000 perkilogram. Sementara harga tomat di Lombok Timur baru- baru ini anjlok sampai ke harga 25.000. perkeranjang. Dalam satu keranjang seberat 40 kg. Padahal, beberapa bulan sebelumnya harga tomat menembus angka Rp 15.000 sampai Rp20.000 perkilogram. Artinya fenomena ini menimbulkan gejolak sosial di tingkat petani. DIMANAKAH DINAS PERINDUSTRIAN?
Berdasarkan Rencana Pengembangan Industri Pangan (RPIN) yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dalam rangka memperkuat stok pangan nasional, NTB masuk dalam daerah prioritas industri pangan. Diatur juga dalam Perda Rencana Pembangunan Industri NTB Tahun 2020 - 2040, yang dimana dalam ruang lingkup pengaturannya, sektor pangan masuk dalam industri prioritas.
Padahal diketahui bersama bahwa komoditas volatile food juga menjadi penyebab inflasi maupun deflasi, sehingga dapat merugikan petani. Sebab itu Dinas perindustrian NTB mesti lebih mengutamakan penyerapan industri di sektor pangan, agar nantinya dapat menjaga stabilitas harga secara berkesinambungan.
Untuk itulah Dinas Perindustrian NTB sebagai salah satu organisasi pemerintah yang mempunyai peran industrialisasi yang besar harus melakukan pemberdayaan terhadap hasil pangan masyarakat dengan adanya industri yang menyerap produksi pangan. Mengapa pangan, karena melalui dari sektor pangan lah, usaha dan keringat masyarakat dihargai.
Sebab, yang masyarakat butuhkan saat ini yakni apa yang mereka inginkan. Yang mereka inginkan hanya pasar yang mau menerima produk-produk mereka. Jika sudah ada yang mau membeli dan menghargai, maka mereka akan mulai terpacu untuk memperbaiki kualitas, meningkatkan produktivitas dan mulai menggunakan mekanisasi dalam proses produksinya.*
Penulis
Eko Saputra
Editor
RM/NI