![]() |
Penulis Yulia Nurrahmawati, M.Pd. (dok. istimewa) |
Kemampuan siswa Indonesia secara keseluruhan masih sangat rendah, khususnya dalam bidang matematika. Informasi dari hasil tes Patterns in Global Math and Science Review (TIMSS) tahun 2011 untuk bidang matematika yang diikuti oleh siswa kelas VIII, Indonesia berada pada peringkat 38 dengan skor 386 dari 42 negara, sedangkan skor tipikal di seluruh dunia adalah 500 (P4TK, 2011). Informasi hasil PISA 2012 juga mengejutkan negara Indonesia dan semakin melengkapi rendahnya kemampuan siswa Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Harus ada perubahan sebagai hasilnya. selama ini pembelajaran matematica di Indonesia, khususnya upaya yang dilakukan oleh para pendidik untuk mengatasi tantangan siswa dalam menangani masalah bilangan.
Dalam kurikulum Siswa harus mampu bekerja melalui masalah dalam matematika Kegiatan yang melibatkan pemecahan masalah dapat membantu siswa mengembangkan elemen kunci pembelajaran matematika. Dalam dunia pendidikan matematika, soal-soal biasanya berupa soal-soal atau soal-soal matematika yang memerlukan penyelesaian. dalam kaitannya dengan hal-hal tersebut (Hadii & Radiiyatul, 2014) menyatakan bahwa penyelesaian konflik merupakan aktivitas manusia yang mendasar. Kenyataannya adalah bahwa kita berurusan dengan masalah untuk sebagian besar hidup kita. Jika kami tidak dapat menyelesaikan masalah, kami harus mencoba melakukannya dengan cara yang berbeda. Jadi, memecahkan cara yang baik untuk adalah dengan masalah belajar gunakan. Inti pembelajaran dalam matematika adalah pemecahan masalah, yang merupakan keterampilan mendasar dalam proses pembelajaran (Hidayat & Sariningsih, 2018).
Beberapa ahli menemukan beberapa cara dalam memecahkan masalah matematika, salah satunya adalah Polya. Polya (1985) menemukan langkah-langkah yang praktis dan tersusun secara sistematis dalam memecahkan masalah. Dengan adanya langkah-langkah tersebut dapat mempermudah siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Langkah-langkah dalan memecahkan masalah menurut (Polya, 1985) terdiri dari empat langkah ada dua hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut: (1) memahami masalah tersebut; dan (2); menyusun rencana pendekatan pemecahan masalah; (3) tindakan solusi yang diusulkan; dan (4) mengevaluasi kemanjuran solusi.
Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan salah satu guru mata pelajaran matematika di MTs Satu Atap Al-Hidayah Batu Malang mengatakan bahwa siswa-siswa disana kurang antusias dalam menerima pembelajaran serta mempunyai tingkat kapasitas untuk pemecahan masalah sangat rendah. Dalam proses memecahkan masalah siswa cenderung menggunakan langkah-langkah biasa yang diajarkan oleh guru. Siswa yang berbeda memiliki berbagai tingkat bakat pemecahan masalah. menyelesaikan masalah penuh semangat, walaupun terdapat kesulitan, ada yang mudah menyerah saat meneumukan kesulitan dalam menyelesaikan masalah dan ada yang menyerah terlebih dahulu ketika menemukan kesulitan pada soal sebelum mengerjakan.
Siswa yang ingin belajar matematika membutuhkan tes bakat (AQ). Sejalan dengan pendapat Hidayat & Sari (2019) bahwa AQ memberikan pengaruh terhadap pencapain kemampuan berpikir kritis, khususnya dalam pemecahan masalah matematika. Peranan Adversity Quotient menurut Stoltz (2018) Dalam pendidikan, penting untuk dapat mendukung siswa agar tidak mudah menyerah atau pada masalah mereka. Berkaitan dengan itu, dalam menghadapi masalah tedapat tiga tipe anak dalam AQ munurut Stoltz (2018), yaitu tipe quitters mereka yang membutuhkan kemampuan untuk mengakui tuntutan sepanjang kehidupan sehari-hari. Tipe campeers mereka yang saat ini memiliki kemampuan untuk mencoba mengelola masalah, namun memilih bahwa perjalanan sudah cukup dan merasa aman. Tipe climbers mereka yang memutuskan untuk terus membayar dan berjuang dengan masalah juga memiliki semangat yang tinggi dalam mencapai tujuannya (Stoltz, 2018). Misalnya dalam mengerjakan soal matematika yang non rutin, siswa tipe quitters cenderung akan menghindar sebelumnya mencoba mengerjan, siswa dengan tipe campers akan mencomba mengerjakan tetapi ketika menemukan kesulitan pada proses pemecahan masalah maka siswa tipe ini akan meninggalkannya, sedangkan siswa tipe climbers akan berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi serta kesulitan pada saat proses pemecahan masalah (Jamal & Mulbar, 2018).
Mengingat penggambaran di atas, penulis membutuhkan mengetahui bagaimana kemampuan mengurus pernyataan numerik untuk siswa sekolah menengah pertama bertipe camper lihat dari langkah pemecahan masalah Polya. Sehingga tujuan dari ulasan ini adalah untuk menggambarkan kemampuan penanganan pernyataan numerik siswa sekolah menengah pertama bertipe camper diihat ke langkah pemecahan masalah Polya.
Pembahasan
Kecakapan Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika dinilai melalui tes dan wawancara. Polya type AQ camper C1 dapat memahami masalah dengan mendeskripsikan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. meskipun faktanya hanya menggunakan bahasa pertanyaan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh. (Anwar dkk., 2021; Yani dkk., 2016) bahwa siswa camper menjalankan prosedur berpikis secara asimilasi dan dapat mengidentifikasi secara langsung informasi masalah. C1 dapat menjelaskan pendekatan yang harus diambil saat membuat rencana pemecahan masalah. dalam menyelesaikan. solusi untuk masalah ini sesuai yang dikemukan pada penelitian Lutfiananda dkk. (2016) bahwa siswa yang memiliki kemampuan sedang menunjukan proses berpikir reflektif dalam menyusun rencana pemecahan masalah, ditunjukan bahwa C1 dapat menghubungkan informasi yang diperoleh untuk menyelesaikan pemecahan masalah. Tahap melaksanakan strategi, bahwa C1 tidak mampu memaparkan secara lengkap proses pemecahan masalah yang telah C1 susun sebelumnya. Sedangkan pada tahap memeriksa kembali C1 hanya menuliskan kesimpulan. pertanyaan soal pemecahan masalah dan tidak mengerti cara memeriksa kembali kebenaran jawaban Itu selesai. Ini sesuai dengan teori Stolltz (2018) bahwa mereka yang bertipe camper cepat merasa puas dengan apa yang telah mereka capai sehingga tidak mendapat manfaat maksimal dalam pemecahan masalah.
Ketika siswa C2 dapat menuliskan dan mendeskripsikan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, hal itu menunjukkan bahwa mereka telah memahami soal. menggunakan bahasa pertanyaan pada masalah yang disajikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Anwar dkk. (2021) bahwa siswa camper mampu menutukan syarat cukup dan syarat perlu, artinya dapat menentukan yang diketahui dan yang ditanyakan pada soal. Tahap menyusun rencana, bahwa C2 dapat menyusun rencana dengan memisalkan permasalahan yang akan dikerjakan sesuai dengan bahasa sendiri, tetapi pada hasil yang direncanakan terdapat kekeliruan sehingga akan menimbulkan kesalahan pada langkah selanjutnya, seuai dengan temuan penelitian Jamal & Mulbar (2018) bahwa siswa camper mampu menuntukan strategi pemecahan masalah yang dianggap tepat dan sesuai untuk dapat menyelesaikan soal pemecahan masalah, C2 meyakini bahwa strategi yang ia susun sesuai dengan pengalaman belajar sebelumnya mampu menyelesaikan pemecahan masalah yang dihadapinya. Tahap melaksanakan rencana, C2 Dengan strategi yang ia Susun sebelumnya. C2 merasa puas dengan hasil pengerjaan yang telah ia selesaikan , selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Aini & Mukhlis (2020) bahwa hasil pemecahan masalah yang diberikan siswa camper masih kurang tepat. Pada tahap ulangi verifikasi, C2 tidak menguraikan dan menjelaskan cara memeriksa ulang jawaban, akan tetapi C2 menuliskan hasil kesimpulan dari pertanyaan pada soal. Hal ini sesuai dengan temuan pada penelitian Hutami dkk. (2020) menyatakan bahwa siswa sering melakukan kesalahan pada tahap melaksanakan rencana dan memeriksa kembali hasil pekerjaanya.
Berdasarkan hasil analisis proses pemecahan masalah matematika ditinjau dari langkah pemecahan masalah Polya bahwa terdapat perbedaan antara C1 dan C2. Siswa C1 pada proses pemecahan masalah tidak mengerjakan secara maksimal, pada tahap melaksanakan renacan C1 menemukan kesulitan sehingga ia menuliskan langkah pengerjaan sesaui dengan kemampuannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Hutami dkk. (2020) bahwa siswa camper masih berusaha memecahkan masalah tetapi jika menemukan kesulitan mereka cenderung menyerah. Siswa camper kurang memanfaatkan semua kemampuan yang dimilikinya sehingga cenderung kurang berhasil dalam mencapai tujuan yang maksimal. Pada siswa C2, dapat melakukan Memahami masalah, membuat rencana, dan melaksanakannya adalah tiga tahapan Polya, tetapi C2 tidak menyadari bahwa terdapat kekeliruan pada tahap menyusun rencana sehingga menimbulkan kesalahan pada tahap selanjutnya. Hal ini sesuai dengan temuan pada penelitian Abdiyani dkk (2019) yang menyatakan bahwa siswa dengan tipe camper mau menyelesaikan masalah yang dihadapinya, namun ketika dalam menghadapi masalah sudah setengah jalan, siswa dengan tipe ini tidak akan maju karena sudah merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya sehingga siswa tipe camper kurang maksimal dalam menyelesaikan suatu masalah.
Kedua subjek C1 dan C2 tidak memaparkan tahap memeriksa kembali dan tidak bisa menjelaskan cara memeriksa kembali kebenaran jawaban, mereka menuliskan kesimpulan hasil pertanyaan dari soal. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Naimnule dkk (2022) yang menemukan bahwa siswa tipe camper dapat melakukan tiga langkah pemecahan masalah — memahami masalah, merencanakan masalah, melaksanakan rencana, dan tidak memeriksa kembali hasil dan prosedur tertulis — dalam urutan itu.
Kesimpulan
Mempertimbangkan hasil dan diskusi terkait diperoleh maka Akhirnya, dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa untuk memecahkan teka-teki matematika. bertipe camper ditinjau dari langkah pemecahan masalah bahwa C1 hanya mampu memahami masalah dan menyusun rencana. Sedangkan C2 hanya mampu Setelah mengidentifikasi masalah dan menyusun rencana, tetapi hanya pada tahap pelaksanaan terdapat kesalahan. Kedua subjek ini tidak mampu membuat informasi soal kedalam model matematika dan tidak memahami cara memeriksa kembali jawaban. Berdasarkan penelitian ini, disarankan agar siswa AQ camper memiliki kemampuan memecahkan masalah. kurang maksimal, sehingga guru perlu meberikan latihan soal-soal pemecahan masalah tidak rutin berupa soal cerita, serta Untuk memudahkan siswa dalam memecahkan masalah, guru perlu membiasakan mereka dengan Langkah pemecahan masalah bersifat polya.
Referensi
Abdiyani, S. S., Khabibah, S., & Rahmawati, N. D. (2019). Profil Keterampilan Pemecahan Masalah Matematika SMPN 1 Jogoroto Berdasarkan Langkah-Langkah Polya Ditinjau dari Adversity Quotient. Al-Khawarizmi: Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 7(2), 123–134. 10.1.24256/jpmipa di https://doi.org. v7i2.774.
Aini, N. N., & Mukhlis, M. (2020). Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Pada Soal Matematika Berbasis Teori Polya Ditinjau dari Adversity Quotient. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Matematika, Alifmatika, 2(1), hlm. 105–128. 10.1.35316/alifmatika di https://doi.org. 2020.v2i1.105-128.
Anwar, Z., Rusani, I., Supriadi Supriadi, & Hidayani Hidayani. (2021). Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Menggunakan Langkah-Langkah Polya Ditinjau dari Adversity Quotient Tipe Campers. Celebes Education Review, 3(1), 25–33.
Hadi, S., & Radiyatul, R. (2014). Metode pemecahan masalah Polya digunakan di sekolah menengah pertama untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis mereka. Jurnal Pendidikan Matematika, EDU-MAT, 2(1). URL-nya adalah https://doi.org/10.20527/edumat. v2i1.603.
Hidayat, W., & Sari, V. T. A. (2019). Kemampuan Berpikir Kritis dalam Matematika dan Adversity Quotient pada Siswa SMP. Jurnal Elemen, 5(2), 242. URL: https://doi.org/10.29408/jel. v5i2.1454.
Hidayat, W., & Sariningsih, R. (2018). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Adversity Quotient Siswa SMP Melalui Pembelajaran Open Ended. JNPM (Jurnal Nasional Pendidikan Matematika), 2(1), 109. https://doi.org/10.33603/jnpm.v2i1.1027
Hutami, F. E., Trapsilasiwi, D., & Murtikusuma, R. P. (2020). Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Program Linear Ditinjau dari Adversity Quotient. Alifmatika: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Matematika, 2(1), 1–13. https://doi.org/10.35316/alifmatika.2020.v2i1.1-13
Jamal, A. N., & Mulbar, U. (2018). Students’ Thinking Process In Mathematics Problem Solving Based On Polya’s Steps Viewed From Adversity Quotient At Sman 4 Soppeng. http://eprints.unm.ac.id/9496/1/2.%20ARTIKEL.pdf
Lutfiananda, I. M., Mardiyana Mardiyana, & Dewi Retno Sari Saputro. (2016). Analisis Proses Berpikir Reflektif Siswa Dalam Penyelesaian Masalah Matematika Non Rutin di Kelas VIII SMP Islamic International School Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (IIS PSM) Magetan Ditinjau dari Kemampuan Awal. 812–823 dalam Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika, 4(9).
Nababan, R. J., & Pratama, F. W. (2018). Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP Berdasarkan Tahapan Polya Ditinjau dari Adversity Quotient. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Pendidikan Matematika, 1(2), 80–92.
Naimnule, M., Kehi, Y. J., & Bone, D. (2022). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Berdasarkan Langkah Polya Ditinjau dari Adversity Quotient Tipe Quitter, Camper, dan Climbers pada Siswa Kelas VIII SMP. PENDIDIKAN, 9(2), 428-441. http://doi. org/10.36987/jes. v9i2.2957.Paul G. Stoltz. (2018). Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. PT Gramedia.
Polya, G. (1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Princeton University Press.
Retnawati, H. (2018). Peran Pendidikan Matematika dalam Memajukan Kualitas Sumber Daya Manusia Guna Membangun Bangsa. 12.
Yani, M., Ikhsan, M., & Marwan, M. (2016). Proses Berpikir Siswa Sekolah Menengah Pertama dalam Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Langkah-Langkah Polya Ditinjau dari Adversity Quotient. Jurnal Pendidikan Matematika, 10(1), 42–57. https://doi.org/10.22342/jpm.10.1.3278.42-57
Yudha, F. (2019). Fungsi Pendidikan Matematika dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk Mewujudkan Masyarakat Islam Modern. JPM: Jurnal Pendidikan Matematika, 5(2), 87–94. https://doi. org/10.33474/jpm. v5i2.2725.
Penulis
Yulia Nurrahmawati, M.Pd.