Penulis: Anjasmara (dok. pribadi) |
Narasi Indonesia.com, MATARAM-Malam ini, ku awali dengan istilah "kesedihan" melihat beranda facebook pela-pelan kutemukan tulisan agak panjang berjudul "petani yang termiskinkan" oleh (Ketua HMI Cabang Gorontalo). Sejenaku tersentak oleh cara berpikir yang inklusif (terbuka) tentang keadaan petani indonesia, aku sih, anggap saja bahwa ini hasil dari inteprestasi kesedihan beliau melihat gejolak petani indonesia yang terus di rongrong, dihisap tanpa henti oleh kepentingan birokrat elit. saya sebagai anak petani mengakui bagaimana kesederhanaan masyarakat petani Desa pedalaman, namun tetap mencerahkan "kepedulian", aktivitas petani tidak semata bertindak untuk mengadakan keuntungan, sebaliknya, dalam ruangnya termaktub nilai-nilai kemanusiaan. Berangkat dari keindahan pikiran ketua HMI Cabang Gorontalo memaksakan saya untuk terus terang dalam memposisikan, kebijakan, ketidakbecusan birokrat. Masyarakat petani lahir dari kesadaran perut dunia tanpa mereka dunia akan mengalami ketidakstabilan, tubuh manusia terus gusar, berantakan ketika sang pejuang "Petani" tidak intelegesian kondisi dunia. Selama perut terus memanggil selama itupula petani menjadi sang petarung hebat untuk kemakmuran manusia, petani memang seorang pejuang tidak banyak mendefinisikan perjuangan dengan kebohongan tetapi membuktikan kebohongan birokrat menjadi fakta, kalau W.S Rendra mengatakan bahwa "perjuang itu pelaksanaan kata-kata bukan bermain kata" atau onani kata (birokrat).
Perjuangan petani tidak sesempit pahaman birokrat elit, hanya menjadikan kekuatan tenaga petani sebagai alat pemerasanya. Sistem ini oleh Karl Marx, disebut sebagai kerja teralienasi. Mereka yang bersusah payah bekerja banting tulang, namun hasilnya malah dinikmati oleh pihak lain. Petani semakin terasing dari kerja yang dilakukan. Kerja yang sejatinya sebagai kehendak bebas yang harus dinikmati, berubah menjadi keterpaksaan yang menyiksa. Dalam pandangan Humboldt seorang libertarian klasik, yang corak pemikiranya bertentangan dengan konsep kapitalisme menyatakan, “para buruh tani mengolah tanah yang buahnya tidak akan mereka makan. Dan para tukang membangun gedung-gedung yang tidak akan mereka tinggali”.(hmimpocagor wordpress.com).
Keadaan masyarakat petani kenyataanya selalu di pergunakan untuk kepentingan borjuasi semata, dogma kaum birokrat elit_borjuasi membuat masyarakat menarik sehingga peluang untuk memeras semakin melekat. Hal ini akan terlihat berkepanjangan ketika tidak ada bukti pembanding dalam rekontruktif dogma kapitalnya, saya, melihat bagaimana masyarakat petani di kerdilkan oleh harga-harga pestisida, pupuk, bisi jagung melonjak naiknya tidak berbanding lurus dengan harga kebutuhan yang mereka keluarkan, maka dari itu, memang cara yang harus dilakukan dengan sepenuhnya "Hancurkan setiap instansi terkait" sebelum pada pihak kekuasaan paling tertinggi, mau kita bakar, lempar atau tembak-menembak karena inilah alternatif efisien dalam menakar kebiadaban birokrat elit_borjuasi.
Pilihan baik kian kali terus di bangun, balasanya berdampak buruk, Sementara, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Katanya, komoditas beras memberi kontribusi besar terhadap garis kemiskinan di perkotaan kontribusi sekitar 20 persen dan pedesaan 26 persen dibandingkan kontribusi pangan lainnya, saya sendiri mengakui kontribusi pangan ini menjadi sentral primer (utama) bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat petani pada umumnya, Lapangan selalu berlabu dengan fakta, harga yang di sesuaikan oleh pemerintah sesuai HET di rekayasa akan jadi apa pertanian Indonesia, kalau caranya, mengelabui cinta murni dari petani.
Tidak lupa, Keseimbangan pembangunan infrastuktur desa kota, agroindustri pedesaan harus di dorong agar dampak besar bagi pengentasan kemiskinan. Dan kebijakan-kebijakan kita yang pro rakyat seperti Harga Eceran Tertinggi (HET) misalnya, konsumen bisa menikmati harga bagus, petani juga. Belum lagi asuransi pertanian, kemudahan akses bank, hingga penguatan kelembagaan dengan korporasi petani juga bisa tingkatkan kesejahteraan. Acap kali, problem harga kebutuhan pertanian tiada bertemu dengan kepastian, terus berputar pada kolom pungutan liar oleh birokrat elit, agak malu, keberhasilan Mentri Pertanian tidak menunjukan hasil merata di seluruh indonesia khususnya di Desa pedalaman, berdasarkan, pandangan sarjana Teknik Pertanian Alamsyah, S.TP, "mengatakan Jadi melihat dari pada kondisi petani saat ini dengan berbagai macam problem yang di hadapi petani, jadi saya menyentuh terkait dengan upaya pemerintah untuk menfasilitasi para petani terutama terkait dengan mengsubsidikan pupuk untuk meningkatakan kesejahteraan petani", apakah ini pandangan keblinger? tidak, termasuk saya anak pertanian menyetujui akan risetnya, sarjana pertanian penuh dengan praktek bukan memainkan kebohongan, artinya data yang ada itu betul-betul ada.
Melihat kaki, tangan berkucuran keringat, tiada belas kasih birokrat elit_borjuasi memaduh kasih dengan masyarakat petani, coba rasakan bagaimana mencakul, memetik, mencabut, dan cobalah bagaimana tersiksanya ketika pemerintah mengeluarkan harapan untukasyarakat, logikanya, bagaimana posisimu berada pada dirinya. kondisi pertanian yang dikontrol oleh rezim korporat_kapitalisme, yang mencoba merubah corak berpikir petani, alih-alih kemajuan-kebutuhan pangan kompleks, sehingga harus dirubah menjadi nominal. Jika dahulu bertani untuk memenuhi kebutuhan pokok "Utama", sehingga yang menjadi komoditas adalah tanaman-tanaman pokok, seperti talas, ubi, singkong, beras.Di rezim korporat, masyarakat petani tak menikmati hasil pertaniannya. Ketika petani beralih ke tanaman industrial, lain hal, otak kapitalis semakin menjadi-jadi, hasilnya terakumulasi dalam "dompet rezim". Bukan kebutuhan pokok secara langsung, dengan harga yang telah ditetapkan oleh para tengkulak atau penguasa sebagai pengendali produksi.
Harapan, pemerintah kali ini harus lebih komprehensif untuk menelitik dalam penyediaan kebutuhan masyarakat petani, kurangin kebutuhan para rezim, karena mereka sudah tercukupin, kasihan masyarakat petani hanya "berharap" pada kebijakan definitif harga yang tiada tentu dan semoga, kedepanya pemerintah harus profesionalitas, saya, melihat dan menimbulkan kesedihan karena keadilan belum mendapatin kita semua, di akhir tulisan ini, masyarakat petani harus terorganisir secara, pikiran, harapan dan kebutuhan untuk betul-betul mencipta perwakilan akar rumput yang berjuang demi kebutuhan masyarakat petani dan bentuk gerakan tani yang beraliansi nasional menggalang kerja sama upaya menjadikan lembaga penghimpun terkompleks secara SDM, ekonomi dan spiritualitas, desa kali ini jangan dipandang bodoh oleh kaum korporat harus membangun gerakan besar sebagai tandingan. Saya, sedikit mengutip perkataan tokoh hebat pada masanya dari rilisan ketua Cabang Gorontalo, dia mengatakan, "Jika kau mampu merasakan derita berarti kau masih hidup, Jika kau mampu merasakan derita orang lain berarti kau manusia (Ali Syariati).*
Penulis
Anjasmara
Editor
M/NI