Harlah 1 abad Nahdlatul Ulama (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-HARLAH-ku HARLAH mu. MILAD ku MILAD mu dalam rumah besar Ukhwah Islamiyah. Tak penting siapa mulai duluan.
Sebagian besar kita memang sudah mulai capek dengan selisih, konflik dan khilafiyah tak ada ujung.
Abu Nashir mengawali dengan indah, saya menyebutnya cerdas, meski mengandung resiko — tapi begitulah pembaharu, selalu bikin kaget logika awam, sebelum kemudian dibenarkan rame-rame.
Adalah Gus Ipul salah seorang petinggi NU ternyata hapal lagu sang surya sungguh mendamaikan — saya pikir ini sebuah ikhitiar, bahwa sesungguhya Muhammadiyah dan NU bersodara, bukan lawan, apalagi musuh, tapi lebih sebagai temen berlomba berbuat bajik.
,Ya Lal Wathon’ yang dinyanyikan Abu Nashir Ketua PDM Pasuruan terpilih dalam Musyda itu saya pikir menjadi semacam pertanda, bahwa keduanya ingin mendekat, ingin berjabat, bukan sekedar formalitas. Langkah berani ditengah kebekuan dan kekakuan, bakal sedikit mencair. Abu Nashir memancang harapan baru membuka etalase bagi dua ormas besar itu.
Hal yang sama juga dilakukan penuh ghirah oleh PDM Sidoarjo dan UMSIDA, bahu-membahu memuliakan tamunya — dalam konteks gupuh, suguh, lungguh. Termasuk berbagai ucapan selamat satu abad NU sungguh menyejukkan dan mendamaikan, setidaknya ini adalah awal yang baik dari dua ormas besar yang dikenal selalu bersaing dan berselisih hingga soal furu. Rehat sejenak, kita lupakan qunut shubuh, kita ngopi bareng usai makan bakso Made in LAZISMU.
Lima taun lalu ketika saya menulis sedikit pujian tentang NU, tak sedikit cela saya dapatkan, bahkan kemuhammadiyan saya diragukan. Kesetiaan saya di soal. Kualitas ke -kader-an saya dibincang. Tak selalu himne ‘ya lalwathon’ yang dinyanyikan Abu Nashir terdengar merdu. Dan tidak semua bisa memandang indah apa yang dilakukan UMSIDA. Tapi ini Ijtihad sosial. Saya suka. Saya menyebutnya sunah hasanah.
Prof Fauzan Saleh tegas menyebut:”Di kalangan masyarakat bawah sudah semakin pragmatis, tidak terlalu pusing dengan perdebatan teologis doktrinal yang hanya jadi konsumsi kalangan elit terpelajar’. Pun dengan Nakamura, Lidle atau Burgens hingga Robert Rundee yang keras mengkritik disparitas santri modern dan tradisional tak lagi penting.
Patutnya Langkah inovatif ini mestinya diikuti oleh Majelis Tarjih dan bahtsul matsail sebagai simbol pembaharaun dan tajdid, paradoks ketika inovasi muamalah justru berbalik dengan fatwa-fatwa asal beda, terutama yang bersifat ijtihadiyah dan khilafiyah. Semangat asal beda dengan sesama terangga ‘sebelah’ ini layaknya dikurangi. Bukankah para ulama penganjur salaf sekelas al Iyadh, Al Atho bahkan Hasan Bashri dan Imam Syafi’i lebih mengedepankan akhlaq ketika berikhtilaf.
Menjadi ironis ketika produk fatwa hanya menambah deret perbedaan — sungguh kami dibawah telah sangat capek dan lelah. Agar fatwa-fatwa Majelis Tarjih dan Bahtsul Matsail tidak menambah jauh — apalagi untuk hal-hal yang bersifat ijthadiyah dan khilafiyah. Bukankah tarjih itu juga bermakna kompromi, mencari titik temu bukan menyoal sesuatu yang sebelumnya tidak menjadi perkara— Wallahul muwwafiq. Aqwamit thariq. Fastabiqul khairat.*
Penulis
Nurbani Yusuf (Komunitas Padhang Makhsyar)
Editor
KK/NI