![]() |
Kirana Pungki Apsari, S.H Mahasiswa Pascasarjana Universitas Bung Karno (dok. pribadi) |
Narasi Indonesia.com, JAKARTA-Kekerasan dalam dunia kerja dan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan masih banyak terjadi di Indonesia khususnya bagi pekerja perempuan padahal tidak ada ketentuan yang membatasi perempuan dalam bekerja, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 27 ayat 2 menjelaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Perempuan sangat rentan mengalami kekerasan dalam dunia kerja, karena pekerja perempuan sering kali dianggap tidak berdaya, takut untuk bersuara atau melawan dan bahkan minimnya pengetahuan dan informasi tentang perlindungan hak pekerja bagi perempuan. Untuk diketahui bahwa kekerasan ini berasal dari berbagai sektor pekerjaan, bentuknya bukan hanya kekerasan fisik, kekerasan seksual, namun terkadang yang sering tidak disadari oleh pekerja perempuan adalah kekerasan verbal, bullying, kekerasan psikologi, diskriminasi, intimidasi, kekerasan ekonomi dan keuangan.
Misalnya perbuatan atasan atau rekan kerja berbicara kasar, teriak-teriak atau marah-marah, memukul tembok dan meja dihadapan klien atau pekerja lainnya, sehingga pekerja sekelilingnya menjadi takut. Hal ini tentu tidak membuat pekerja berkembang melainkan merasa rendah diri, merasa bersalah dan merasa tidak berhasil dalam bekerja, peristiwa seperti ini terkadang masih dianggap hal lumrah dan sering dialami pekerja perempuan. Semua perlakuan tak senonoh itu tentunya membuat pekerja merasa direndahkan martabatnya, namun tidak berani membela diri karena merasa tidak berdaya atau merasa masih sulit mendapat pekerjaan baru, masih terikat kontrak atau memiliki hutang di tempatnya bekerja. Akan tetapi, pada faktanya hal ini membuktikan kualitas dari atasan atau rekan kerja tersebut tidak selesai dengan dirinya sendiri dalam pengelolaan masalah dan pengendalian emosi. Apalagi kalau perbuatan tak patut tersebut dilakukan secara terang-terangan dihadapan klien dan rekan kerja lainnya, alih-alih ingin merasa punya kuasa dan mampu mengkontrol pekerja atau bawahannya padahal sedang mempertontonkan dirinya yang bad attitude.
Padahal, kalau kita lebih menyadari lagi, sebagian pekerja perempuan merasa kehilangan peran sebagai anak, istri maupun ibu karena mengalami abuse of hour atau jam kerjanya tidak dihargai, tidak mendapatkan hak untuk menikmati hidupnya, kerena sering diganggu diluar jam kerja bahkan saat cuti, saat sakit masih ditelfon dan dibebankan pekerjaan, dan tidak diberi izin mengurus keluarga yang sakit atau izin untuk keperluan pribadi lainya, kalau pun diberi izin atasannya suka ngedumel pada pekerja lainnya “si A sering banget izin ya memang tidak ada keluarga yang lain bisa mengurus anaknya untuk ke rumah sakit atau kesekolah” ketika hal ini sampai ke telinga pekerja yang izin tersebut tentunya akan menjadi beban tersendiri dan membuat tertekan, padahal ia benar-benar izin mengurus keperluanya namun kesannya izin satu hari menghilangkan semua kehadirannya selama ini dan perbuatan baik atau prestasi yang dia lakukan di tempat kerja.
Terkadang atasan minimnya apresiasi terhadap pekerja, berprestasi dianggap hal biasa dan kewajiban dari pekerja sementara izin atau membuat sebuah kesalahan dianggap sebagai catatan merah yang harus selalu di ingat dan seakan selalu buruk untuk kedepannya, padahal yang dipekerjakan adalah manusia, makhluk sosial yang perlu bermasyarakat, memiliki rasa kepedulian terhadap keluarga dan memiliki hak untuk melihat tumbuh kembang anaknya, bukan robot yang bisa di setting sedemikian rupa, namun robot pun ada konsletnya apalagi manusia.
Atasan tidak boleh melewati batasan hak asasi dari setiap pekerja dan harus memahami bahwa pekerja mempunyai kehidupan diluar tempat kerja bersama dengan keluarganya, karena pekerja bukanlah sapi perah atau sekedar mesin pencetak uang untuk mencapai kesuksesan pribadi atasan, sementara pekerja sebagai batu pijakannya. Atasan tidak boleh hanya menerima keadaan pekerja saat sehat karna bisa bekerja dan menghasilkan keuntungan, tapi tidak peduli jika pekerja sakit atau mengurus anak dan keluarga yang sakit seakan-akan mengurus anak atau keluarga sakit merupakan kesalahan besar harus di beri sanksi pemotongan gaji atau uang transport.
Pekerja perempuan sering juga mengalami diskriminasi dan kekerasan ekonomi, pemotongan gaji atau uang trasport ketika sakit ataupun izin hal ini jelas sekali bertentangan dengan aturan yang berlaku. Pada sebagaian tempat kerja tidak adanya jaminan kesehatan, sekalipun dibuat kebijakan oleh atasan untuk reimburse biaya pengobatan itupun tidak 100%, dan tidak mampu menutupi gaji atau uang transport yang dipotong sekalipun dengan surat keterangan dokter, pada akhirnya kebijakan ini juga hanya menguntungkan atasan.
Alih-alih ingin membuat pekerja disiplin malah merampas hak-hak yang mestinya didapatkan pekerja, ditambah lagi hal-hal yang tidak nyaman bagi pekerja yang sakit, dicurigai dan atasan yang tidak percaya dengan surat keterangan dokter padahal HR bisa untuk mengkonfirmasi hal tersebut pada rumah sakit atau klinik, dan dibebankan untuk mengirimkan surat keterangan sakit dan rekam medis semantara masih dalam perawatan.
Selain itu, aturan mengenai jam kerja sangat jelas sebagaimana ketentuan waktu kerja yang diatur dalam Pasal 77 ayat (2) Perppu Cipta Kerja adalah 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu, waktu istirahatnya 1 hari dalam 1 minggu. Sedangkan untuk waktu kerja 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu, waktu istirahatnya 2 hari dalam 1 minggu. Mestinya diluar dari pada itu harus dihitung sebagai kerja lembur dan harus dibayar upah lemburnya, namun terkadang ada atasan yang nakal mempekerjakan pekerja di hari libur namun tidak memberikan upah lemburnya karena alasan pekerjanya sudah mendapatkan tips dari klien, tentulah hal ini selain melanggar aturan dan tidak adanya hati nurani, karena sudah mengganggu waktu libur pekerja, diminta lembur tapi upah lemburnya tidak dibayarkan.
Terkadang karena tunturan pekerjaan tidak jarang kita melihat banyak pekerja perempuan untuk lembur, atasan juga tidak boleh membiarkan pekerja perempuan lembur terus menerus, hal ini akan berdampak buruk terhadap kesahatan karena menganggu jam istirahat, apalagi pada seorang perempuan yang sedang hamil dengan kondisi yang tidak memungkinkan oleh saran dokter, sekalipun lembur dibayar, harus dibayar sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam pasal 76 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 mengatur pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun serta pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya, dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Artinya pekerja perempuan di atas 18 tahun serta tidak dalam kondisi hamil yang demikian diperbolehkan bekerja pada jam-jam tersebut. Namun bagi pekerja perempuan yang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, ayat (3) dan (4) pada pasal 76 UU No. 13 tahun 2003 mengatur sejumlah ketentuan, antara lain perusahaan:
1. Wajib memberikan makanan dan minuman bergizi;
2. Wajib menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja;
3. Wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Atasan wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 merupakan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 serta Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 224 Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Jika tidak ada angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan saat lembur, atasan harusnya memberikan biaya transpot sesuai dengan jarak dari kantor ke rumah pekerja dengan layak dan tanpa harus berberat hati dan merasa keberatan karena ini sudah aturan dari Undang-Undang.
Tak hanya disekolah bullying juga terjadi pada dunia kerja, keadaan terkadang diperburuk lagi dengan atasan atau rekan kerja yang toxic, hal ini juga berdampak buruk pada kinerja pekerjaan, biasanya hal ini membuat terciptanya lingkungan kerja yang negatif dan penuh konflik karena saling curiga dan menjatuhkan satu sama lain, kondisi yang tidak kondusif ini membuat sering terjadi miskomunikasi dan menghambat pekerjaan. Atasan atau reken kerja yang toxic tidak mampu membangun relasi kerja dengan timnya, karena cendurung menjatuhkan satu sama lain, serta perilaku manipulatif yang merugikan orang lain tapi menguntungkan dirinya, lingkungan kerja yang baik tentunya memiliki atasan dan rekan kerja yang membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun.
Pada situasi tertentu, atasan atau pun rekan kerja yang sama sekali tidak bisa menghargai kinerja rekan kerjanya yang lain merasa dirinya sendiri yang paling serius dan lelah bekerja sementara tim atau rekan kerja lainnya tidak bisa melakukan apa-apa, biasanya rekan kerja yang toxic ini suka memata-matai dan membuat pengaduan-pengaduan kepada atasan, atasan yang bijak mestinya mampu menilai dengan cara objektif dan profesional dalam bebagai aspek, namun atasan yang toxic dan tidak bijaksana hanya menggali informasi dari semua pekerja, tanpa menilai dari aspek absensi, kerajinan, penyelesaian pekerjaan, dan prestasi yang dilakukan di tempat kerja, ataupun dengan bukti yang jelas, sehingga menyebabkan atasan ingin memecat pekerja tersebut.
Namun, pekerja tersebut di non-job diasingkan dan di tekan secara psikologi oleh atasan dan rekan kerja situsasi ini sengaja diciptakan agar perkerja tersebut merasa tidak nyaman, padahal jika situasi seperti ini, lebih baik dilakukan pemutusan hubungan kerja atau di pecat dari pada menyiksa pekerja secara psikologi, bahkan lebih parah lagi terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan, sehingga setiap pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja tersebut selalu dibebankan pada kesalahan, selalu dianggap tidak mempuni, selalu dianggap tidak ada progres, dan setiap penjelasannya dianggap selalu tidak dimengerti, seakan selalu direndahkan karena tidak mampu, padahal sebenarnya ini adalah strategi agar pekerja tersebut resign dan tidak dilakukan pemutusan hubungan kerja atau dipecat.
Jika terjadi pemutusan hubungan kerja atau dipecat atasan atau perusahan tersebut wajib untuk memberikan pesangon sebagaimana disebutkan dalam Perpu Cipta Kerja Pasal 156 ayat 1 yang menyatakan bahwa hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Berikut adalah rincian pesangon yang di terima pekerja jika terjadi pemutusan hubungan kerja atau pemecatan:
1. Masa kerja kurang dari satu tahun, satu bulan upah;
2. Masa kerja satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua tahun, dua bulan upah;
3. Masa kerja dua tahun atau lebih tetapi kurang dari tiga tahun, tiga bulan upah;
4. Masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari empat tahun, empat bulan upah;
5. Masa kerja empat tahun atau lebih tetapi kurang dari lima tahun, lima bulan upah;
6. Masa kerja lima tahun atau lebih, tetapi kurang dari enam tahun, enam bulan upah;
7. Masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari tujuh tahun, tujuh bulan upah;
8. Masa kerja tujuh tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan tahun, delapan bulan upah;
9. Masa kerja delapan tahun atau lebih, sembilan bulan upah.
Atasan tidak boleh memutuskan hubungan kerja dengan menyerang hal-hal personal, seperti atasan yang berkata, lebih baik mengurus rumah tangga, mengurus anak, atau hamil saja dulu nanti kalau dibutuhkan akan dipanggil lagi, hal ini adalah kalimat klasik yang digunakan oleh atasan sekaligus kata untuk mengontrol pekerjanya. Padahal sesuai dengan konstitusi yang ada di Indonesia bahwa setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, pemutusan hubungan kerja dilarang atas dasar ideologi, agama, kecenderungan politik, suku, ras, warna kulit, kelompok sosial, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
Hal yang paling mudah untuk mengklasifikasikan kekerasan dan abuse of power di tempat kerja tersebut bisa dikenali seperti perilaku manipulatif seperti dengan mengatakan tempat kerja tersebut berasaskan kekeluargaan atau perseorangan sehingga tidak terikat dalam ketenagakerjaan dan terlalu banyak aturan atau aturan baru yang rumit namun ujung-ujungnya menguntungkan sepihak dalam hal ini adalah atasan, aturan maupun kebijakan yang dibuat tidak mampu mengakomodir hak pekerja, dan sikap atasan yang anti kritik tidak menerima masukan dan saran dan jika ada pekerja yang vocal maka akan dikatakan ini bukan serikat buruh, diasingkan, selalu disalahkan bahkan di minta untuk resign, keadaan ini menjadi tidak kondusif bagi pekerja, membuat fokus kerja berkurang bahkan menghambat pekerjaan.
Apalagi tindakannya bersifat menyerang, mengintimidasi, membentak, mempermalukan ataupun mengkritik seseorang dengan tidak adil, memberikan beban kerja yang berlebihan dan tidak pantas, mengabaikan atau mengasingkan seseorang dan beberapa tindakan lain yang bisa dikualifikasi sebagai tindakan diskriminasi, intimidasi, yang menyebabkan orang lain merasa terancam, dilecehkan, dihina.
Atasan perlu sadar dengan amat sangat bahwa tindakan tersebut bukan hanya berdampak buruk bagi pekerja sabagai korban, tapi juga bisa merugikan dan berdampak buruk bagi bidang usaha, perusahaan ataupun kantor yang di naungi, karena dapat mengarah pada memburuknya kinerja, membuat citra perusahaan menjadi buruk, disaat pekerja merasa tertekan pada atasan dengan ucapan kasar, alam bawah sadar pekerja secara otamatis akan melakukan hal yang sama bahkan mengabaikan klien, karena setiap harinya terbiasa mendapatkan masukan dan mendengarkan ucapan kasar dan keras dari atasan, sehingga lingkungan kerja menjadi tidak baik.
Jika pekerja perempuan mendapatkan perlakuan abuse of power atau kekerasan secara psikologi maka sebenarnya resign adalah jalan terbaik untuk menjaga kewarasan dalam diri, namun sebelum resign harus saving money untuk kehidupan beberapa bulan ke depan, jangan berikan afirmasi negatif pada diri sendiri, dengan berkata sulit untuk mendapatkan pekerjaan, padahal diluar sana banyak lowongan pekerjaan yang bisa dilamar apalagi dengan pengalaman pekerjaan dan keahlian yang mempuni pasti akan cepat mendapatkan pekerjaan baru, asalkan menanamkan optimis didalam diri dan lebih selektif dalam memilih tempat kerja, namun jika ada hal tertentu yang membuat tidak bisa resign dari pekerjaan tersebut maka hal yang bisa di lakukan adalah melaporkan ke HR, namun jika HR tidak mampu menyelesaikan hal tersebut, buatlah laporan atau pengaduan ke Pengadilan Hubungan Industrial atau pengaduan ke DISNAKER, pengaduan dan perlaporan akan lebih baik diperkuat dengan bukti video, rekaman suara, data dan saksi, pada saat ini pengaduan dan laporan ke DISNAKER bisa dilakukan secara online dan keamanan data dan identitas pelapor pun di rahasiakan.*
Penulis
Kirana Pungki Apsari, S.H (Mahasiswa Magister Hukum Bisnis Universitas Bung Karno)
Editor
M/NI