![]() |
Kirana Pungki Apsari, S.H Mahasiswa Pascasarjana Universitas Bung Karno (dok. pribadi) |
Narasi Indonesia.com, JAKARTA-Latar belakang sejarah masyarakat Indonesia meletakkan perempuan pada posisi kedua dalam kehidupan masyarakat, mendengar ungkapan “istri” atau perempuan yang telah menikah paradigma masyarakat hanya berfokus pada soal dapur, kasur dan sumur. Anehnya ungkapan tersebut masih dianggap relevan walaupun pada era modern saat ini, atau yang masih terngiang dari opini di tengah masyarakat saat ini seperti “percuma sekolah tinggi-tinggi namun ujung-ujungnya cuma mengurus rumah tangga”. Pemikiran ini lah yang masih membelenggu dan membatasi ruang gerak perempuan, hingga melahirkan stigma tidak setara laki-laki dan perempuan serta menekan perempuan pada padangan masyarakat yang memiliki standar ideal.
Selain dari itu, perempuan selalu disajikan dengan pilihan menjadi ibu rumah tangga atau berkarir, padahal untuk era saat ini perempuan tidak perlu memilih, karena perempuan memiliki kemampuan multitasking yang baik, beberapa studi ilmiah mendukung hal ini melansir BBC, dua studi terpisah (satu asal Tiongkok dan satu dari Swedia) sama-sama menyimpulkan kinerja kelompok perempuan lebih unggul ketimbang laki-laki dalam mengerjakan tugas spesial dan melibatkan komputer secara bersamaan, sementara merangkum Live Science, penelitian di Ingris menemukan sebetulnya perempuan dan laki-laki menunjukkan kinerja yang sama, namun perempuan terlihat lebih baik dalam hal menyusun strategi untuk menyelesaikan banyak pekerjaan dalam satu waktu.
Dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa perempuan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi, namun kenyataan pahit bahwa masyarakat mengharuskan perempuan memilih diantara dua hal tersebut, menjadi ibu rumah tangga atau menjadi pekerja. Dibalik sisi lembut dan penuh kasih sayangnya, sesungguhnya perempuan dapat membawa perubahan dalam pembangunan nasional, hal ini dibuktikan dengan banyaknya perempuan masa kini yang bangkit dan membuktikan bahwa keberadaan perempuan ditengah masyarakat dengan budaya patriarki layak untuk diperhitungkan.
Dengan kecerdasan perempuan Indonesia telah banyak mengambil peran dalam beberapa sektor, seperti pengusaha, dalam dunia politik, kesehatan, pemerintahan maupun pada organisasi dan aktivis yang menyuarakan hak-hak perempuan, ini artinya perempuan masa kini telah bangkit dan memperjuangkan keputusan-keputusan strategis pada negara ini, hal ini merepresentasikan kehadiran perempuan yang beraspirasi menyuarakan ketidakadilan bagi kaumnya, bahkan ketidakadilan secara umum.
Maka, jika perempuan masih saja di kotak-kotakkan menjadi ibu rumah tangga lebih baik atau menjadi perempuan yang berkarir lebih baik, maka apa yang dicita-citakan tidaklah bisa tercapai, karena akan menimbulkan konflik bagi perempuan, karena merasa pilihannya lebih baik dan timbul rasa tidak menghargai keputusan perempuan lainnya, padahal kenyataannya banyak juga perempuan di luar sana yang mampu mengurus domestiknya dengan baik serta berkarir cemerlang diranah publik.
Selain dari pada itu, pemerintah perlu memberikan jaminan perempuan untuk aman, baik diranah domestik maupun diranah publik, tapi sebelum lebih jauh, perempuannya itu sendiri harus selesai dengan konflik antar perempuan yang mana harus saling menghargai terhadap keputusan dan pilihan perempuan lainnya, woman support woman.
Seperti yang kita ketahui bahwa rahim adalah kodrat perempuan, hal ini juga sangat erat kaitannya dengan memperbaiki kualitas generasi penerus bangsa, mengingat bahwa perempuan adalah pendidik pertama dalam keluarga, pemerintah dan masyarakat mesti menyadari hal ini dan harus adanya perbaikan dalam bidang pendidikan, memberi ruang bagi perempuan untuk mengakses ilmu selain di sekolah ataupun kampus seperti mengikuti pelatihan, diskusi ataupun organisasi.
Pemerintah juga harus memberikan jaminan kesehatan terhadap perempuan baik itu anak, remaja maupun ibu serta memberikan pendidikan mengenai reproduksi dan penyuluhan pranikah dengan tepat sasaran dan maksimal, pemerintah juga harus memberikan kesempatan kerja bagi perempuan seluas-luasnya, upah, gaji dan perlakuan yang layak dan terlindungi dari diskriminasi.
Pemerintah juga harus mengambil langkah antisipasi agar perempuan tidak mengalami kekerasan seperti meningkatkan pengetahuan mengenai jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan dan mensosialisasikan secara masif tempat pelayanan hukum bagi korban kekerasan ataupun pelecehan, serta langkah strategis dan aturan mengenai kesetaraan gender.
Oleh karena itu, perempuan tidak perlu memperdebatkan lagi mana yang lebih baik, karena perempuan mampu untuk melakukan keduanya, serta perlu untuk mendukung dan menghargai setiap keputusan terbaik dari perempuan lainya.*
Penulis
Kirana Pungki Apsari, S.H (Mahasiswa Magister Hukum Bisnis Universitas Bung Karno)
Editor
Monta/NI