![]() |
Yusi Ramadani Ketua BEM STTL Mataram (dok. pribadi) |
Narasi Indonesia.com, MATARAM-Negara kreditur adalah negara yang memberikan pinjaman hutang kepada negara berkembang, sedangkan negara debitur adalah negara yang menerima pinjaman hutang dari negara kreditur atau negara maju. Di dalam proses peminjaman hutang, ada beberapa macam prasyarat yang tersedia ketika negara debitur mengajukan pinjaman hutang kepada negara debitur, salah satunya adalah sistem bunga.
Dari pengajuan pinjaman hutang kepada negara maju, bagi pemerintah itu adalah sesuatu hal yang lumrah untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur dan lingkungan di dalam negeri, supaya menjadi negara berkembang dari sisi infrastruktur dan pembangunan lingkungan. Semakin sering pemerintah mengajukan hutang, maka semakin tambah pula rasio hutang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dimana kesepakatan internasional, pembatasan hutang maksimal 60 persen dari PDB, sedangkan Indonesia sudah mencapai pada angka 40 persen ke atas dan sisanya masih ada 20 persen untuk mencapai 60 persen. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa, angka 40 persen bisa di bilang aman ketimbang negara berkembang lainnya.
Dalam kaitan dengan itu, pemerintah sebenarnya harus mempertimbangkan ketika mengajukan pinjaman hutang kepada negara kreditur, agar negara Indonesia tidak bernasib sama seperti negara berkembang lainnya yang mengajukan hutang kepada negara maju. Jika pemerintah menganggap remeh hal tersebut, maka bagaimana nasib Indonesia ketika angka rasio pembatasan hutang mencapai 60 persen?.
Kerusakan lingkungan hidup menjadi faktor utama adanya hutang luar negeri Indonesia. Krisis ekologi yang dialami negara ini mengakibatkan banyaknya hutang luar negeri untuk membatasi terjadinya krisis di bidang ekologi. Mau tidak mau pemerintah Indonesia menutupi krisis ekologi dengan memperbaiki ekologi dengan uang dari hasil hutang luar negeri. Namun di tengah perbaikan ekologi, ada oknum yang bekerja sama dengan negara kreditur untuk melakukan korupsi terhadap proyek pembangunan ekologi yang sedang berlangsung. Dari permasalahan itu memicu terjadinya hutang luar negeri jilid 2 untuk menyelesaikan proyek perbaikan ekologi yang sedang berlangsung.
Alasannya sederhana, pertama, karena mereka ikut menikmati dana hasil dari korupsi itu. Kedua, semakin uang itu dikorupsi semakin sasaran program tidak tercapai dan berarti semakin banyak dana pinjaman dibutuhkan. Yang berarti semakin melanggengkan ketergantungan Indonesia kepada mereka.*
Penulis
Yusi Ramadani (Ketua BEM STTL MATARAM)
Editor
M/NI