Penulis, Anas Munandar, M.Pd. (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, PUISI-Sejuta lembar kertaspun tidak cukup tinta penaku untuk menorehkan tentang kisah yang kita buat. Dirimu pernah hangat, tapi aku mengabaikanmu, hingga akhirnya dirimu dingin dengan sendirinya.
Dua tahun lamanya, dirimu pernah menjadi bagian dalam kisah asmaraku. Cinta ,,, kamu selalu menjadi bagian dalam setiap lelah yang diriku lewatin.
Cinta,,, kamu adalah kesempurnaan dari kebenaran yang ada dalam kisahku. Ku pikir aku masih bisa mempertahankan mu, tapi kemudian aku menyadari, bahwa aku menyukai kenangan tentang dirimu yang dulu.
Dulu aku percaya, kita hanya perlu membuat semuanya menjadi jelas, agar mereka memahami apa yang kita rasakan. Karena kita yakin dan sepakat untuk bersatu, namun restu tidak memihak pada kita. Masalahnya cuman satu, yakni perbedaan cara berpikir terhadap kondisi kita saat ini. Menyerah bukanlah solusi, karena solusi terbaik adalah berusaha merubah cara pandang orang tua mu dan orang tua ku agar semuanya seperti kita. Cinta,,, aku percaya kita saling mencintai, tapi tidak bisa bersama.
Kelak, apabila dipertemukan kembali dengan cerita yang berbeda, ku harab dirimu teguh untuk menerimanya, yakinlah, dirimu adalah perempuan terindah yang pernah diriku kenal.
Aku pernah bermimpi, kita akan membangun bahtera rumah tangga dan menjadi ibu dari anak-anak ku. Cinta,,, semua impianku telah sirna, karena takdir datang dengan tiba-tiba menghanyutkan semua cerita yang kita buat.
Aku percaya, kita hanya berusaha, namun tuhan yang berhak memutuskan. Cinta,,, biarlah kisah dan kenangan ini dibawah oleh angin. Aku pamit, biarlah aku pergi dengan sejuta penyesalan yang telah ku putuskan.*
Penulis
Anas Munandar, M.Pd.