Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dinamika Ekonomi dan Geopolitik Indonesia di Tengah Kancah Global

Senin, 24 Juli 2023 | Juli 24, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-07-24T19:22:48Z

Penulis, Afdalul Aulad, M.E. (dok. pribadi)

Narasi Indonesia.com, MALANG-Siklus politik global saat ini kian mengalami kegemuruhan. Di ditandai dengan adanya persaingan antar negara-negara adikuasa yang menguasai di berbagai macam sektor kehidupan manusia yang meliputi: ekonomi, pembangunan infrastruktur megah, kecanggihan teknologi dan informasi, hingga terjadinya peperangan di beberapa negara di dunia. Kejadian-kejadian ini mengisyaratkan kita untuk selalu paham dengan situasi yang mempolarisasi kehidupan kita ke depan. Sisi lain-pun terjadi dengan adanya perubahan-perubahan yang semakin hari semakin mengalami ketidakpastian akibat gemuruh perkembangan teknologi dan informasi.


Sesungguhnya patut disadari dalam pencapaian tujuan nasional untuk menghadapi kancah global yang meliputi berbagai macam sektor tersebut, sekiranya perlu untuk mengejawantahkan dalam sendi-sendi persatuan dan kesatuan antara semua pihak. Hal ini sejalan dan termaktub dalam UU No 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Bangsa Indonesia, bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, pelaksanaan hubungan luar negeri didasarkan pada asas kesamaan derajat, saling menghormati, saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, seperti yang tersirat dalam butir-butir Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


Penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik luar negeri Indonesia tidak terlepas dari keterikatan antara ketentuan-ketentuan hukum internasional yang menjadi pegangan hubungan diplomatik dan pergaulan antar negara. Oleh sebab itu, UU tentang hubungan luar negeri tersebut dapat memberikan artian yang sangat penting, mengingat Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi tentang Misi Khusus di New York 1969.


Banyak hal sebenarnya yang menjadi kasak-kusuk bagi kita memahami situasi yang terjadi saat ini. Apalagi Indonesia sebagai bangsa besar dengan jumlah populasi penduduk 270-an juta jiwa, terbanyak ke 4 di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat (bahkan Indonesia masuk kategori big population). Dengan jumlah kepulauan kita berkisar 17 ribuan pulau yang membentang dari sabang sampai merauke. Harus di sadari bahwa dari banyaknya peristiwa-peristiwa yang melanda kondisi global, kita sebagai anak bangsa perlu belajar dan memahami dari beberapa negara-negara hebat untuk menyongsong perbaikan masa yang akan datang.


Belajar dari Pertarungan Amerika Serikat dan Tiongkok.

Dinamika geopolitik global yang masih berlarut hingga saat ini adalah pertarungan kekuasaan dan perebutan tahta untuk memperluas pengaruh jejaring antara Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Indo Pasifik. Persaingan antar kedua negara tersebut setidaknya terdiri dari beberapa sektor, mulai dari penguasaan teknologi, investasi, penyediaan kebutuhan infrastruktur negara beserta pembangunannya, dan sektor pertahanan.


Dalam hal ini untuk memperluas pengaruhnya Amerika serikat menerapkan kebijakan Global Development Initiative (GDI), yang di anggap gagal oleh Tiongkok. Kemudian Amerika Serikat mengeluarkan dua kebijakan di bidang industri yaitu Inflation Reduction Act (IRA) dan CHIPS and Science Act (CSA), hal ini memberikan dampak pada pengembalian proteksionisme industri AS dan akan mengakibatkan daya saing dari industri negara-negara berkembang menurun. Hal ini merupakan respons Amerika Serikat terhadap meningkatnya ketegangan geopolitik dengan Tiongkok dalam pengentasan naiknya inflasi pasca pandemi covid-19.


Selanjutnya Tiongkok (China) menerapkan dan menjalankan kebijakan Belt Road Initiative (BRI) yang merupakan proyek raksasa pada masa pemerintahan Xi Jinping, karena mencakup 2/3 populasi global dan 3/4 sumber energi. Memang kebijakan dari Xi Jinping ini sudah lama, namun hingga saat ini masih memberikan pengaruh dan tantang terhadap negara-negara berkembang di sekitar Indo Pasifik.


Meskipun terdapat narasi bahwa bangkitnya ekonomi, teknologi dan informasi Tiongkok. Namun dibeberapa sektor penguasaan Tiongkok, masih Amerika Serikat yang lebih mendominasi hingga di bidang ekonomi, teknologi dan informasi. Sesungguhnya dalam melihat case ini, bukan persoalan utama penguasaan ekonomi dan teknologi, melainkan aktivitas produksi dalam negeri di antara negera-negara tersebut menjadi penyongsong peningkatan pendapatan dan haluan negara. Bahkan hingga saat ini Amerika Serikat melakukan ekspansi produksi di negara-negara lain demi memenuhi kebutuhan produksi yang lebih rendah.


Pertarungan antara kedua negara tersebut memang hingga saat ini masih mempengaruhi kekuatan politik, ekonomi dan sosial di dunia. Persoalan ini pun sejalan dengan adanya perang proksi yang kedua negara tersebut lakukan terhadap negara-negara di Asia ini. Dan ini menjadi ancaman bagi negara-negara yang terdampak akibat rivalitas kedua negara tersebut.


Indonesia Menghadapi

Sebagai bangsa yang besar dengan mempunyai tekat dan kemajemukan budaya. Indonesia dari sejak merdeka sudah mengalami banyak tikaiam dari bangsa-bangsa penjajah. Menghadapai situasi ekonomi dan politik global yang menjadi ancaman di beberapa sektor di atas, maka terdapat salah satu strategi utama Indonesia menghadapi pengaruh persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yaitu dengan pemulihan ekonomi nasional dan penguatan stabilitas politik luar negeri.


Akibat dari adanya covid-19 lalu, maka kekuatan ekonomi hampir di semua negara mengalami anjlok, termasuk Indonesia. Sebagai pengentasan menghadapi kondisi krisis tersebut dengan pelaksanaan kebijakan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Optimisme dalam melakukan pemulihan ekonomi nasional di tandai dengan adanya peningkatan konsumsi dalam negeri, penambahan aktivitas kegiatan usaha, menjaga stabilitas ekonomi dan ekspansi moneter. Penyelarasan kebijakan untuk pemulihan ekonomi nasional sendiri, harus adanya kekompakan antara pemangku kebijakan fiskal dan moneter.


Peningkatan konsumsi dalam negeri dan investasi yang di lakukan oleh pemerintah republik Indonesia saat ini memang mengalami perbaikan secara signifikan yang di tandai dengan daya beli masyarakat yang meningkat, selanjutnya di tandai juga dengan adanya peningkatan industri manufaktur pada tingkatan ekspansi dan kredit perbankan yang tumbuh di atas 10%. Dari segi eksternal selarasnya harus ditandai pula dengan surplus neraca transaksi berjalan, neraca perdagangan, cadangan devisa dan rasio utang harus berada pada level aman.


Kendati demikian mengutip uraian dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, bahwa terdapat “surplus neraca perdagangan mulai bulan Januari hingga Oktober 2022 mencapai USD 35 miliar yang di dorong oleh ekspor komoditas utama seperti batu bara, palm oil dan nikel”. Cerminan dari pemulihan ekonomi nasional memang sejatinya dapat mengimplementasikan kebijakan fiskal sebagai shock absorber, menjaga stabilitas harga, pengembangan UMKM, dan yang terpenting peningkatan kualitas SDM.


Target yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi tantangan ini adalah dengan pembangunan ekonomi yang inklusif (inclusive economy) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dengan begitu komoditas sektor pertanian, perdagangan dan jasa dapat di dapatkan hasil yang bermanfaat untuk kemajuan perekonomian bangsa.


Dari segi politik luar negeri, Indonesia menganut prinsip kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif, dalam artian bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan pada permasalahan internasional, maupun tidak mengikat diri pada satu kekuatan tertentu. Dapat di katakan pula bahwa adanya politik luar negeri yang bebas aktif memberikan ruang bagi bangsa Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian konflik yang terjadi pada negara-negara yang sedang konflik sekarang seperti konflik Rusia dan Ukraina.


Kebijakan politik luar negeri pada masa kepemimpinan Presiden Jokowidodo sesungguhnya di tandai dengan keaktifan Indonesia di World Conference on Constitutional Justice (WCCJ) sebagai kontribusi untuk mendukung penguatan Indonesia di kawasan ASEAN, Asia Pasifik dan kancah dunia. Hal ini akan menitikberatkan nilai tawar dan popularitas indonesia di mata dunia.


Seyogyanya menarik perhatian kita kebelakang bahwa esensi politik luar negeri yang bebas aktif telah di utarakan pertama kali oleh Suta Sjahrir tahun 1947 di Inter Asia Relation Conference, New Delhi. Alasan utama Sjahrir saat itu, bahwa dunia Internasional seolah memaksa semua negara untuk memilih pada dua blok besar yang terdiri dari blok barat, di pimpin oleh Amerika Serikat dengan aliran utamanya adalah leberalis- kapitalis dan blok timur di pimpin oleh Uni Soviet dengan aliran komunis-sosialisnya.


Mengutip dari paparan topik Kompas Sutan Sjahrir mengistilahkan “konflik ini adalah terjadi antara blok Anglo-Saxon dan blok Soviet-Rusia yang memaksa keberpihakan negara-negara lain. Sjahrir menyoroti bahwa sikap yang sejatinya benar adalah ‘menolak untuk dipaksa’ dan mencari sikap internasional sendiri”. Nah sebagai bagian dari aspirasi terhadap kekuatan politik luar negeri keadaan pemetak-metakan itu yang dihindari oleh Indonesia dari dulu. Akan tetapi perlu di garis bawahi adalah politik luar negeri yang menguntungkan bagi Indonesia sejatinya yang selalu ikut andil dan turut serta dalam menangani pemecahan permasalahan dunia sebagai bentuk mewujudkan persatuan nilai-nilai kemanusiaan.*


Penulis

Afdalul Aulad, M.E.


Editor

M/NI


×
Berita Terbaru Update