Penulis, Afdalul Aulad, M.E. (dok. pribadi) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-Dunia pendidikan menjadi
sesuatu keharusan dalam kehidupan manusia, agar dapat memajukan SDM yang unggul.
Pendidikan akan menciptakan berbagai-macam hal, diantaranya manusia yang
unggul, berprestasi, berfikir luas, cerdas, mempunyai karakter dan lain-lain.
Dengan hadirnya formulasi pendidikan yang ada dalam kehidupan manusia, baik
secara formal maupun non formal. Pendidikan lah yang mampu menjadikan kita
hidup, untuk menghidupkan dan mentransformasikan kehidupan yang lebih bermakna.
Parlu disadari dari cerminan
pendidikan dalam sendi-sendi kehidupan kita saat ini dapat memberikan dampak
terhadap pengelolaan sumber daya alam. Adanya pembangunan (develompent),
pemeliharaan dan penanaman nilai yang terdapat di dalamnya, pendidikanlah yang
menjadi fondasi utama manusia melakukan segala macam nilai-nilai tersebut.
Pendidikan akan melahirkan cara berfikir cerdas, creative, objektif, transformatif
dan substantif guna membangun peradaban manusia.
Manusia sejatinya memerlukan
pendidikan, bukanlah nilai-nilai pendidikan itu datang dengan sendirinya,
melainkan perlu untuk di usahakan. Dalam mewujudkan pendidikan yang bernilai
mutu, maka diperlukan metode pembelajaran yang bermutu pula. Pembelajaran tersebut
harus di barengi dengan kesesuaian perkembangan zaman. Salah satu metode yang
sekiranya perlu diterapkan adalah metode pembelajaran transformatif.
Dalam terminologi
pembelajaran pendidikan transformatif menurut Haryadi adalah “metode pendidikan
yang memungkinkan siswa untuk mendidik diri mereka sendiri melalui pengalaman
yang melibatkan realitas. Banyak pemikir di dunia pendidikan berpendapat bahwa
sistem pendidikan tidak cukup hanya memberikan pengetahuan (apa yang diketahui
siswa atau mahasiswa), tetapi perlu memberikan kepercayaan diri dan kemampuan
kepada peserta didik untuk menjadi diri mereka sendiri".
Pendidikan transformatif mampu melahirkan orang-orang yang lebih percaya diri untuk
menampilkan ide-ide baru dari mereka sendiri. Dengan adanya sesuatu dorongan
pada diri sendiri, maka konsekuensi logisnya adalah menciptakan
kebiasaan-kebiasaan yang bermakna. Kepercayaan diri sejatinya menjadikan
seseorang berani tampil mengemukakan gagasan-gagasannya dan mengimplementasikan
apa yang menjadi pengetahuannya. Konsekuensi ini memang memberikan ruang pada
generasi-generasi terdidik yang mengembangkan cara berfikir dan tindakan untuk
menumbuh-kembangkan kreatifitas dirinya.
Dunia ini sejatinya selalu
beriringan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang tiada henti mengalami
perubahan. Dari sekian banyak pengetahuan-pengetahuan yang di dapatkan, maka
dengan pendidikanlah menjadi support sistem utamanya. Hal demikan akan berpengaruh
besar dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu dengan pendidikan kita akan mampu
menguasai dunia.
Pada prinsipnya, metode pendidikan
dengan pembelajaran transformatif mampu memberikan peluang dan tantangan
terhadap pengembangan kreatifitas diri sendiri. Lalu pertanyaannya kreatifitas
seperti apa yang diperlukan?. Disini perlu diketahui kreatifitas itu timbul
dari adanya dorongan eksternal yang muncul disebabkan oleh adanya sesuatu yang
sudah ada, kemudian di tumbuh-kembangkan melalui berfikir melihat peluang
terhadap sumber daya alam kita saat ini, seperti: memberikan nilai-nilai tambah
terhadap produk-produk yang sudah ada, agar menarik untuk dipakai dan
diperjual-belikan.
Seperti kita ketahui di
perkirakan Indonesia akan menuju kebangkitan pada tahun 2045, tepatnya 100
tahun Indonesia merdeka dari penjajahan. Inilah yang melatarbelakangi
kebangkitan generasi emas dan menjadi saat yang tepat bagi pendidikan untuk
berperan menciptakan generasi emas Indonesia. Ini adalah momentum sangat tepat
bagi para pemangku kepentingan dalam pendidikan untuk menata dengan
sebaik-baiknya untuk pendidikan berkualitas.
Merujuk pada UUD 1945 Pasal
31 dan UU No 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu
prinsip gerakan reformasi dalam pendidikan adalah pendidikan diselenggarakan
dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta mereka dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pendidikan. Sejatinya output dari
pendidikan akan menciptakan generasi-generasi emas yang produktif.
Mengutip jurnal yang di tulis
oleh Regina Ade Darman tahun 2017 tentang generasi emas “sistem pendidikan masa
depan bangsa Indonesia adalah pendidikan yang mengantarkan generasi masa kini
menjadi generasi emas Indonesia 2045. Tepat pada tahun 2045 Indonesia 100 tahun
terlepas dari belenggu penjajah. Ditahun tersebut Indonesia mengharap memiliki gold generation yang dapat membangun
bangsa kearah yang lebih baik”.
Kenapa generasi masa kini?.
Tentunya menurut hemat saya, generasi sekarang adalah generasi persiapan untuk
menciptakan generasi yang memiliki usia produktif dalam menghadapi bonus
demografi. Banyak ilmuan juga memperkirakan mulai tahun 2010 lalu sampai tahun
2035 kedepan itu masa persiapan bagi kita. Tentu hal ini selaras pula dengan
data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 dimana jumlah penduduk Indonesia
usia muda lebih banyak dibandingkan dengan usia tua. Dalam data itu terlihat,
jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia
10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Kemudian diproyeksikan pada tahun 2045,
mereka yang usia 0-9 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang usia 10-20
tahun berusia 45-54. Disini di perlukan investasi besar-besaran dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Tantangan
dan Peluang
Banyak hal yang menjadi
tantangan kita kedepannya, salah satunya adalah di pengusaan terhadap teknologi
dan informasi. Dunia saat ini sedang gencar-gencarnya menghadapi kemajuan yang
pesat dari teknologi, disini dibutuhkan juga generasi terdidik yang adaptif
terhadap perkembangan dan kemajuan tersebut. Kebutuhan itu pula mengharuskan
kita untuk tidak selalu berfikir konservatif (kolot/ kuno), melainkan berfikir
progresif untuk menatap masa depan, tetapi tidak boleh melupakan masa lalu yang
menjadi bagian dari perjalanan sejarah untuk perbaikan di masa depan.
Banyak ilmuan di beberapa
bidang seperti sains dan teknologi yang mengemukakan, saat ini kita sedang
menghadapi VUCA yang merupakan akronim dari Volatility
(perubahan cepat tak terduga), Uncertainty
(sulit diprediksi/ ketidakpastian), Complexity
(kerumitan), Ambiguity
(membingungkan). Istilah VUCA ini sejatinya muncul pada tahun 1987 yang bermula
dari adanya teori kepemimpinan Warren Bennis dan Burt Nanus kemudian digunakan
dalam pelatihan kepemimpinan militer di US Army War College. Hal ini muncul
untuk mempelajari dan menggambarkan situasi politik- keamanan yang berubah
begitu cepat pada tahun 1990-an yang mengakibatkan keruntuhan Soviet hingga
terjadinya perang teluk.
VUCA dapat di terjemahkan
sebagai tantangan yang perlu di hadapi dan sekiranya perlu untuk merumuskan
peluang dalam mengahadapinya.
Pertama, Volatility, dalam menghadapi ini cerminan pendidikan yang kita
jalani atau lalui saat ini, sekiranya perlu menerapkan visi (tujuan) yang
jelas. Seperti tenaga pendidik (guru) harus mempersiapkan rancangan program
baik bulanan, tahunan hingga master plan
yang detail untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Dilain sisi pula peserta
didik (siswa/siswi) harus mempersiapkan rancangan awal atau materi-materi dalam
pemenuhan kebutuhan belajar. Dengan begitu dalam menghadapi perubahan yang
cepat tak terduga dapat di bendung dengan persiapan proses pembelajaran.
Kedua, Uncertainty. Menghadapi ketidakpastian yang sulit diprediksi ini
sekiranya diperlukan understanding
(pemahaman) yang mendalam tentang kejadian masa lalu dan pembelajaran untuk
arah masa depan. Disini memang di perlukan ketekunan dalam melatih dan
mengevaluasi proses pembelajaran.
Ketiga, Complexity. Proses pembelajaran kita dalam mengahadapi
keruwetan dan kerumitan memang menjadi hal yang membosankan. Hal ini muncul
diakibatkan kurangnya kesadaran dalam proses pembelajaran yang mengakibatkan
berfikir untuk instan dan tidak menginginkannya proses untuk kematangan
belajar. Inilah yang mengakibatkan terjadinya banyak orang-orang yang selalu
menjadi follower (pengikut) di
bandingkan dengan pencipta hal yang baru.
Keempat, Ambiguity. Kejadian ambigu atau kita kenal dengan kebingungan dapat terjadi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan kepekaan terhadap situasi dan kondisi. Hal ini dapat diatasi dengan banyaknya membaca buku dan mentransformasi kejadian-kejadian yang ada. Dengan begitu akan membuat pendidik dan peserta didik memiliki agility dalam proses pembelajaran.*
Penulis
Afdalul Aulad, M.E.
Editor
M/NI