Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pendidikan Berjubah Politik

Minggu, 02 Juli 2023 | Juli 02, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-07-02T18:18:37Z

Penulis, Izul Islamudin (dok. istimewa)

Narasi Indonesia.com, MALANG-Pendidikan dimaknai sebagai lembaga membentuk pribadi yang memiliki akhlak yang baik guna membangun bangsa. Hal itu tidak seperti dibayangkan sebelumnya, karena pendidikan menjadi arena dalam melakukan politik praktis. Pendidikan berjubah politik dimaknai penulis sebagai terlalu intervensinya politik dalam dunia pendidikan sehingga mengorbankan tujuan pendidikan nasional. Arah pendidikan menjadi korban nyata perlakuan menyimpang beberapa kelompok dalam dunia pendidikan. Rotasi dan mutasi menjadi hal yang biasa dilakukan karena tidak satu frekuensi dengan rezim yang berkuasa. 


Kilas balik hadirnya kesejarahan pendidikan tentunya tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi. Makna politik tidak kemudian diparsialkan di ruang sempit melainkan dimaknai secara holistik, konteks pendidikan misalnya. Mengutip buku Syaifudin (2012) kehadiran pendidikan yang diwarnai dengan dinamika politik mulai dari masa kerajaan Hindu seperti kerajaan Kutai, Tarumanegara, dan Majapahit. Kerajaan Budha seperti kerajaan Kalingga, dan Sriwijaya, serta masa kerajaan Islam seperti kerajaan Samudera Pasai, Demak, Mataram, dan Banten. Kemudian masa kolonial-imperialis (1602-1945), kolonialis Belanda politik etis, pragmatisme, dan westernisasi (1602-1942). Imperialis Jepang etatisme, dan kultus hormat (1942-1945). 


 Lebih lanjut, masa Presiden Soekarno (1945-1965) praktik pendidikan diarahkan pada internalisasi jiwa nasionalisme serta membangun karakter bangsa (nation and character building). Masa Presiden Soeharto (1966-1998) menjalankan strategi politik pendidikan dengan dengan menginternalisasikan ideologi Pancasila ke dalam kurikulum lembaga pendidikan, sehingga ini sesuai dengan demokrasi Pancasila yang diterapkan pada masa kepemimpinannya. Dengan demikian, asas pendidikan memiliki dua implikasi. Pertama, sebagai instrumen membangun sumber daya manusia/pembangunan nasional. Kedua, sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan (Syaifudin, 2012).


Pendidikan berjubah politik yang dimaksudkan penulis berangkat dari kilas balik kesejarahan pendidikan bangsa Indonesia menjadi pijakan untuk menggambarkan bagaimana praktik politik dalam dunia pendidikan bahkan mengorbankan masa depan pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik. Berpolitik sah-sah saja, akan tetapi berpolitik dengan mengedepankan nilai itu sangat penting karena akan menyangkut bagaimana arah kebijakan ke depannya.


Studi kasus yang ingin penulis gambarkan disini yakni, terjadi di salah satu Sekolah Dasar Kabupaten Bima. Tidak menutup kemungkinan terjadi di Kabupaten ataupun Kota lain. Pendidikan dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, intervensi politik sudah meramu sampai pada akar-akarnya. Pendidikan yang seharusnya menjadi wadah membentuk generasi penerus bangsa sesuai tujuan pendidikan nasional bertolak belakang ke arah politisasi pendidikan untuk kepentingan golongan tertentu. Tidak se arahnya dengan penguasa menjadi problem tersendiri dengan jabatan yang diemban. Rotasi dan mutasi menjadi konsekuensi logis serta nyata terjadi. Peserta didik menjadi taruhan atas praktik politik yang dilakukan.


Pendidikan akan berjalan sebagaimana mestinya manakala tidak diintervensi dengan kepentingan penguasa. Substansi tujuan pendidikan nasional akan diejawantahkan dalam dinamika pendidikan secara utuh. Praktik pendidikan ala orde lama maupun ore baru masih mewarnai dunia pendidikan era reformasi. Ini artinya, menunjukkan pendidikan masih dihantui oleh dinamika politik, siapa yang berkuasa berhak menentukan arah pemetaan struktural lembaga pendidikan. Sistem pendidikan seperti apapun yang digunakan tidak akan mampu mengarahkan ke arah yang lebih baik jika tidak dibenahi mulai dari akarnya. 


Cerminan bangsa ke depan adalah apa yang dilakukan saat ini, pada sektor pendidikan misalnya, mempersiapkan generasi yang berkualitas tentunya dimulai dari grand desain pendidikan yang terarah. Hal ini melibatkan tenaga pendidik maupun pihak-pihak lain guna membahas konsep, implementasi maupun evaluasi. Akan tetapi hal ini tidak akan teraktualisasi karena dampak rotasi dan mutasi yang menghantui. Pendidikan tidak lagi memakai jubah cultur bangsa, melainkan jubah politik yang suram. Bukan berarti berpolitik tidak mengambil andil besar dalam memajukan pendidikan, melainkan akan memberikan dampak negatif manakala ditafsirkan serta dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan. Ini sama halnya yang dilakukan Presiden Soekarno maupun Soeharto melibatkan politik dalam dunia pendidikan guna melanggengkan kekuasaan.

 

Konteks tulisan ini merujuk pada pemerintah daerah masih tajam menggunakan politik dalam mempertahankan kekuasaan, tidak sefrekuensinya kepala sekolah dengan reim yang berkuasa akan menjadi bumerang tersendiri. Jabatan kepala sekolah yang diemban menjadi korban nyata dari perbedaan tersebut. Ini akan memperhambat pembentukan SDM yang berkualitas dikarenakan belum selesai nya masa jabatan dampak dilakukannya rotasi dan mutasi. Sebagus apapun konsep kepala sekolah dalam membangun pendidikan ke arah yang baik akan runtuh dengan sendirinya karena terlalu diintervensi oleh politik.


Oleh karena itu, perlu adanya gagasan konstruktif mengarahkan pendidikan ke arah yang lebih baik ke depannya: pertama, pendidikan mengakar pada kearifan lokal. Pendidikan dikembalikan pada kearifan lokal masing-masing daerah dalam menumbuh kembangkan peserta didik, tidak hanya pembentukan karakter akan tetapi spiritual, intelektualitas maupun internalisasi nilai-nilai kearifan lokal. Kedua, pendidikan tanpa intervensi politik. Politik dalam dunia pendidikan tidak kemudian dinafikan akan kehadirannya, akan tetapi pendidikan menjadi sentral menghadirkan generasi-generasi yang salah satunya sadar akan berpolitik membangun pendidikan bukan malah sebaliknya menjadikan pendidikan sebagai arena mempertahankan kekuasaan melalui politik praktis. Ketiga, pendidik perlu memiliki kemampuan abad 21. Di tengah perkembangan teknologi informasi serta perkembangan zaman yang semakin dinamis dituntut pendidik memiliki kompetensi yang mumpuni, kompetensi yang dimaksud yaitu: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Dan keempat, melihat karakteristik khusus pada peserta didik. Artinya pendidikan masa depan perlu menitik beratkan pada potensi yang dimiliki masing-masing peserta didik. Oleh karenanya, memungkinkan peserta didik menekuni atau memprioritaskan pada satu bidang keilmuan, sehingga pasca dibangku menengah atas peserta didik dapat menentukan ke arah mana untuk berkarir.*


Penulis

Izul Islamudin


Editor

M/NI

×
Berita Terbaru Update