Strategi peningkatan kualitas Desa di Kabupaten Bima (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-Desa merupakan wahana penunjang untuk
penggerak ekonomi daerah hingga nasional. Ruang lingkup desa kebanyakan orang
berstigma sebagai lingkungan yang kuno, terbelakang dan ketinggalan (baik dari
segi IPTEK dan transformasi digital saat ini). Stigma itu dapat terbantahkan
apabila di desa mampu menciptakan produktifvitas yang mandiri dan memberikan
dampak positif terhadap lingkungan sekitar.
Kendati demikian, formulasi menciptakan
desa yang maju dalam hemat pendapat saya adalah dengan menciptakan kualitas SDM
yang unggul dan pelaksanaan pembangunan. Penciptaan manusia yang unggul dan
pembangunan di daerah/ desa merupakan dua sisi yang tidak boleh dipisahkan. Dengan
adanya fasilitas-fasilitas dari pembangunan untuk proses belajar mengajar
(transformasi pengetahuan), maka manusia akan menjadi unggul, begitu juga
sebaliknya apabila manusia sudah berpengetahuan yang mumpuni, maka akan dapat
melakukan pembangunan yang berguna bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dalam terminologi masyarakat produktif
(kategori unggul) adalah masyarakat yang mampu menciptakan daya tarik, nilai
jual dan daya inovatif terhadap pengembangan sumber daya alam yang di milikinya.
Desa dapat dikatakan sebagai salah satu pioner utama dalam percepatan
pembangunan nasional. Karena di desa-lah sumber-sumber lumbung pertanian dan
perkebunan yang lebih banyak menyumbang sirkulasi pendapatan nasional.
Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) 2022 di Indonesia terdapat 83.794 desa yang tercatat dari
sabang sampai merauke. Terdapat banyak keragaman dan kebudayaan yang menjadi
ciri khas desa-desa tersebut. Salah satunya adalah nilai-nilai kearifan lokal
yang masih di pertahankan hingga kini.
Kabupaten Bima terdapat 18 kecamatan
yang terdiri dari 191 desa, dengan jumlah penduduk menurut data BPS tahun 2020
sebanyak 532,677 jiwa. Ini pula memiliki ciri khas dan keanekaragaman
kebudayaan masing-masing. Namun dalam fakta kehidupan masyarakat memang tidak
terlepas dari adanya pengangguran (employment),
ketimpangan sosial (inquality),
konflik sosial dan lain-lain. Hal ini kita tahu bahwa menjadi masalah-masalah
yang harus dihadapi bersama dan sekiranya tidak menjadi tanggung jawab bagi
pemerintah daerah saja, tetapi di perlukan kerja kolektif antara semua pihak.
Daerah Kabupaten/ Kota tidak akan
mungkin maju apabila seluruh stake holder
di dalamnya tidak saling bekerjasama. Dengan dibangunnya spirit gotong
royong, sejatinya akan dapat meningkatkan kualitas mutu dari pembangunan desa.
Nah, dengan begitu pembangunan di desa akan sangat mudah diejawantahkan dalam
bentuk sikap dan perilaku kita semua. Tetapi yang tidak boleh dilupakan dari
pembangunan desa adalah pengelolaan anggaran yang transparantif, akuntabilitas
dan memiliki dampak yang bisa dirasakan oleh masyarakat sendiri, bukan untuk
segelintir orang-orang saja.
Dalam diskursus ekonomi pembangunan,
bahwa konsekuensi logis dari adanya pembangunan itu dapat membuka lapangan pekerjaan,
meningkatkan pendapatan daerah, peningkatan taraf hidup, hingga tersedianya
fasilitas-fasilitas yang di perlukan untuk kebutuhan masyarakat. Kendati ini
menjadi cerminan dari adanya siklus pembangunan yang terjadi. Pembanguan yang
sekiranya dapat meningkatkan kesejahteraan desa yaitu pembangunan desa
berkelanjutan (sustainable village)
yang berorientasi pada penyediaan pangan nasional dengan mempertahankan
kualitas alaminya.
Untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan dapat dilakukan dengan menciptakan desa yang mandiri, melalui
peningkatan kreativitas masyarakat desa. Artinya yang utama adalah penciptaan
manusia yang unggul dalam mewujudkan pembangunan untuk kemajuan. Desa yang
mandiri sekiranya memiliki penghasilan sendiri, melalui tata kelola dari segala
macam sesuatu yang berada di desa. Gagasan desa yang unggul sekiranya dapat
menciptakan keunikan yang khas daripada desa-desa lain. Itulah mengapa
diperlukan kemandirian desa dalam mentransformasi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat yang kian tiada henti-hentinya.
Sebagai contoh beberapa desa-desa yang
unggul di Indonesia adalah Desa Pujon Kidul (Kabupaten Malang) yang pada tahun
2020 mampu menyumbang PADes sebesar 1,4 miliar dari pembangunan caffe sawah dan
mampu mempekerjakan masyarakat desa sebanyak 136 orang. Kemudian Desa Ponggok
(Klaten), yang berhasil mengubah citra desanya dari tertinggal menjadi maju dan
berkembang pesat. Pada tahun 2017 pendapatan desa Ponggok mencapai 14, 2 miliar
dan berhasil mendatangkan 40.000 pengujung di setiap bulannya. Selanjutnya Desa
Pentingsari (Yogyakarta), yang pada tahun 2018 berhasil menyumbang PADes
sebesar 150 - 200 juta/ bulannya.
Desa-desa tersebut adalah desa yang
menggunakan pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable village) yang berbasis wisata. Hal ini sesungguhnya
yang dapat memberikan multiplier effect
terhadap peningkatan pendapatan desa, pengentasan kemiskinan dan pengurangan
pengangguran di daerah-daerah tersebut.
Turbulensi Desa Berbasis Wisata
di Kabupaten Bima
Kabupaten Bima sesungguhnya memiliki
potensi yang sama dengan desa-desa kategori unggul yang lain. Hal ini
disebabkan oleh adanya kewenangan dari segi undang-undang yang sudah berlaku tentang
UU Desa No.6 tahun 2014, yang menjadi rujukan dalam pembangunan desa, penata
dan tata kelola, pemberdayaan, pembinaan, dan pembangunan wilayah pedesaan yang
terintegrasi serta berkelanjutan menuju desa yang kuat, mandiri, demokratis,
sejahtera yang berkeadilan.
Desa wisata di kabupaten Bima sejatinya
sudah ada sejak lama, salah satunya Desa Maria di Kecamatan Wawo yang memiliki
ciri khas keunikan dari sisi kebudayaan adat Bima yaitu Uma Lengge dan sekarang
menjadi cagar budaya bagi masyarakat Kabupaten Bima. Kemudian ada desa tradisional
lain dan berpotensi dijadikan sebagai desa Destinasi wisata kebudayaan, seperti
desa Piong Kecamatan Sanggar, Sambori Kecamatan Lambitu, Soro Kecamatan Lambu,
Panda Kecamatan Palibelo dan Desa Tolotangga Kecamatan Monta. Serta masih
banyak desa wisata pinggiran pantai yang lain.
Jika dilihat dari sisi pendekatan
ekonomi, maka kategori desa-desa yang berada di kabupaten Bima saat ini masih
sulit bersaing dengan desa-desa kategori unggul yang lain. Hal ini dapat
dilihat dari pendapatan desa (PADes) yang masih minim, peningkatan kualitas indeks
pembangunan manusianya dan taraf kebutuhan hidup masyarakat di Kabupaten Bima.
Lalu apa yang menjadi penyebab dari hal demikian? Dalam hemat pandangan saya
adalah kurang meningkatnya pengelolaan terhadap karikatur keunikan kebudayaan
daerah dan kurangnya menitikberatkan pada nilai kebermanfaatan ekonomis dari
pembangunan-pembangunan yang sudah ada. Seperti dengan adanya tempat destinasi
wisata kebudayaan tidak dijadikan sebagai support sistem terhadap pendapatan
desa.
Dapat dilihat dari banyak hal yang terjadi
di Kabupaten Bima kebanyakan desa hanya mengandalkan pendapatannya dari sektor
pertanian dan perkebunan semata, tetapi kurang di sektor pariwisata dan
pemanfaatan nilai ekonomis dari sisi kebudayaan yang ada. Sehingga hal ini
sulit untuk mendatangkan pengunjung/ wisatawan domestik maupun asing. Padahal
di dibeberapa desa yang kategori unggul itu, mendapatkan pemasukkan finansial
lebih banyak dari luar daerah di bandingkan masyarakat lokal sendiri.
Yang menjadi spirit bersama adalah
diperlukan suatu pemerintahan yang tidak hanya melaksanakan fungsi pelayanan,
tetapi juga pengelolaan untuk pemanfaatan sumber daya alam yang di miliki oleh
wilayah tersebut. Dengan demikian segala macam permasalahan yang timbul dapat
terselesaikan dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan masyarakat.
Lalu bagaimana kita mampu menerapkan sistem
yang memformulasikan Desa Berbasis Wisata yang unggul. Sesungguhnya ada banyak
hal yang perlu dilakukan dan di tuangkan melalui gagasan, namun disini saya
ingin menggambarkan satu konsep yang disebut sebagai Community Based Tourism (CBT) yang merupakan konsep pembangunan
destinasi wisata melalui pemberdayaan masyarakat lokal, dimana masyarakat turut
andil dalam proses perencanaan, pengelolaan, dan penyampaian pendapat.
Dalam merintis pembangunan Community Based Tourism (CBT) desa
berbasis wisata yang di perlukan adalah:
1.
1. Kesepakatan
Bersama;
2. 2. Melihat
potensi desa;
3.
3. Merencanakan
berbagai macam yang menjadi potensi pengelolaan desa;
4.
4. Pemerintah
Desa menyiapkan kelompok kerja yang melalui proses pendampingan dari aparat
desa;
5.
5. Membuat
Visi Misi, rancangan kerja dan regulasi;
6.
6. Mempersiapkan
konsultan yang kompeten di desa tersebut/ diluar;
7.
7. Penyusunan
paket pemasaran wisata;
8.
8. Menjalin
mitra dengan pihak-pihak yang ingin berkolaborasi (swasta);
9.
9. Pembentukan
inovasi baru dan evaluasi terhadap pengelolaan desa.
Kita tahu bahwa dengan Anggaran Dana
Desa (ADD) dalam RAPBN di tahun 2023 ini sebesar Rp 70 triliun, jumlah ini
meningkat dari tahun 2022 yang angkanya sebesar Rp 67,9 triliun. Anggaran ini memang tidak hanya difokuskan
pada satu titik, melainkan ditujukan untuk mengatasi permasalahan stunting, pengembangan ekonomi desa,
pelaksanaan padat karya tunai dan penanganan bencana.
Dengan adanya ADD yang setiap tahunnya mengalami peningkatan, maka sejatinya dapat memberikan cikal bakal pengelolaan pembangunan, penyediaan dan pengembangan desa wisata yang dilakukan oleh pihak pemerintah desa dan masyarakat setempat dalam mewujudkan desa yang unggul dan berpenghasilan untuk kesejahteraan masyarakat.*
Penulis
Afdal Aulad, M.E.
Editor
M/N