Penulis, Izul Islamudin, M.Pd (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-Pendidikan menjadi salah satu sektor yang fundamental dalam membangun
bangsa yang mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Oleh karenanya,
guna mewujudkan hal tersebut dibutuhkan konsisten serta kebijakan yang tepat sehingga
memberikan asas manfaat yang baik dalam menjawab tantangan zaman yang semakin
dinamis. Kedinamisan yang terjadi saat ini menuntut kita perlu memiliki kompetensi
yang mumpuni serta skill abad 21. Menurut Lee Crockett (2011) dalam bukunya
yang berjudul ‘Literacy is not Enough: 21st Century Fluencies for the Digital
Age’ keterampilan Abad 21 yang perlu dimiliki yakni: pemecahan masalah,
kreativitas, berpikir kritis, berkolaborasi, komunikasi, dan etika &
akuntabilitas. Artinya, dengan kemampuan yang dimiliki tersebut menjadi modal
yang sangat penting ketika dihadapkan dengan dunia yang sesungguhnya, yakni
dunia yang penuh dengan ketidak pastian.
Persoalan pendidikan semakin tidak di sentuh bahkan luput dari
sorotan media-media nasional, pendidikan tidak lagi dianggap hal yang urgent
untuk dibahas karena sering kali yang dipertontonkan atau bahkan diperdebatkan
yakni persoalan-persoalan politik yang sifatnya hanya momentum. Luput dari
pembicaraan, bahkan luput dari sorotan kamera, padahal pendidikan seharusnya
terus dibicarakan tidak ada henti-hentinya. Bangsa yang besar bukanlah bangsa
yang hanya mempertontonkan argumentasi-argumentasi elit-elit tertentu,
melainkan memperlihatkan ataupun menyajikan dialektika organik dari para pakar
pendidikan ke arah mana pendidikan ini mau dibawa. Karena pada prinsipnya
pendidikan yang baik berangkat dari dialektika organik tanpa ada intervensi maupun
membawa kepentingan segelintir orang. Mengutip yang disampaikan oleh Nurcholish
Madjid berpandangan bahwa pendidikan yang baik adalah yang dapat membentuk
manusia liberal dan kritis, di mana ia dapat menjadi orang merdeka.
Dari pandangan Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak
Nur, hari ini kita krisis akan dialektika persoalan pendidikan karena kita
hanya sibuk bermain-main dengan dinamika politik yang sifatnya sementara, daya
kritis yang mengikis bahkan pondasi keislaman sebagai pondasi dasar kita goyah
dengan perkembangan teknologi informasi dewasa ini, bukan berarti teknologi yang
menjadi penyebabnya.
Kecanggihan teknologi informasi dewasa ini mempermudah
segala aktivitas, yang semulanya secara konvensional, dan saat ini serba virtual.
Yasraf Amir Piliang dalam jurnal yang berjudul ‘Masyarakat Informasi dan
Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial’ berpandangan bahwa cyberspace
telah mengalihkan berbagai aktivitas manusia (politik, sosial, pendidikan,
ekonomi, kultural, spiritual, seksual) di dunia nyata ke dalam berbagai bentuk
substitusi artifisialnya, sehingga apapun yang dapat dilakukan di dunia nyata
kini dapat dilakukan dalam bentuk artifisialnya di dalam cyberspace.
Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan cyberspace yakni
menghadirkan sebuah kehidupan yang dibangun sebagian besar mungkin nanti
seluruhnya oleh model kehidupan yang dimediasi secara mendasar oleh teknologi,
sehingga berbagai fungsi alam kini diambil alih oleh substitusi teknologinya,
yang disebut kehidupan artifisial (Yasraf Amir Piliang).
Hal itu tentunya sebanding dengan berbagai macam kecanggihan
teknologi yang kita nikmati saat ini, baik itu sebagai alat komunikasi bahkan mempermudah
dalam dunia pendidikan pada khususnya. Hal itu tentunya memberikan dampak
positif ketika dunia dilanda COVID-19, bagaimana proses pembelajaran dilakukan
secara virtual yang tidak memungkinkan untuk dilakukan secara langsung, belum
lagi berbagai aktivitas lainnya.
Oleh karena itu, pendidikan perlu diperhatikan secara serius
dan bahkan ruang dialektikanya di buka seluas-luasnya. Karena perbincangan soal
pendidikan akan menentukan denyut nadi pendidikan bangsa Indonesia baik saat
ini maupun ke depannya.
Indonesia akan di hadapkan dengan bonus demografi, di mana
usia produktif lebih dominan ketimbang usia tidak produktif. Di tahun 2030
mendatang Indonesia akan memasuki puncak bonus demografi, per tahun 2020 saja
mengutip data BPS, jumlah penduduk usia produktif atau angkatan kerja sebanyak
140 juta jiwa dari total 270,20 juta jiwa penduduk Indonesia. Apalagi pada
tahun 2030, jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat begitu pesat.
Maka dari itu, dalam menyambut momentum tersebut perlu skenario
yang tepat maupun langkah-langkah konkret dari pemangku kebijakan, tidak lagi
terjebak dengan hal-hal yang “receh”, tidak lagi menjadikan pendidikan sebagai
alat politik praktis bagi pihak-pihak tertentu.*
Penulis:
Izul Islamudin, M.Pd.
Editor:
KK/NI