Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pendidikan Hanya Butuh Konsisten

Selasa, 01 Agustus 2023 | Agustus 01, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-08-01T14:34:37Z

Penulis, Izul Islamudin, M.Pd (dok. istimewa)

Narasi Indonesia.com, MALANG-Pendidikan menjadi salah satu sektor yang fundamental dalam membangun bangsa yang mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Oleh karenanya, guna mewujudkan hal tersebut dibutuhkan konsisten serta kebijakan yang tepat sehingga memberikan asas manfaat yang baik dalam menjawab tantangan zaman yang semakin dinamis. Kedinamisan yang terjadi saat ini menuntut kita perlu memiliki kompetensi yang mumpuni serta skill abad 21. Menurut Lee Crockett (2011) dalam bukunya yang berjudul ‘Literacy is not Enough: 21st Century Fluencies for the Digital Age’ keterampilan Abad 21 yang perlu dimiliki yakni: pemecahan masalah, kreativitas, berpikir kritis, berkolaborasi, komunikasi, dan etika & akuntabilitas. Artinya, dengan kemampuan yang dimiliki tersebut menjadi modal yang sangat penting ketika dihadapkan dengan dunia yang sesungguhnya, yakni dunia yang penuh dengan ketidak pastian.


Persoalan pendidikan semakin tidak di sentuh bahkan luput dari sorotan media-media nasional, pendidikan tidak lagi dianggap hal yang urgent untuk dibahas karena sering kali yang dipertontonkan atau bahkan diperdebatkan yakni persoalan-persoalan politik yang sifatnya hanya momentum. Luput dari pembicaraan, bahkan luput dari sorotan kamera, padahal pendidikan seharusnya terus dibicarakan tidak ada henti-hentinya. Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang hanya mempertontonkan argumentasi-argumentasi elit-elit tertentu, melainkan memperlihatkan ataupun menyajikan dialektika organik dari para pakar pendidikan ke arah mana pendidikan ini mau dibawa. Karena pada prinsipnya pendidikan yang baik berangkat dari dialektika organik tanpa ada intervensi maupun membawa kepentingan segelintir orang. Mengutip yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid berpandangan bahwa pendidikan yang baik adalah yang dapat membentuk manusia liberal dan kritis, di mana ia dapat menjadi orang merdeka.


Dari pandangan Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur, hari ini kita krisis akan dialektika persoalan pendidikan karena kita hanya sibuk bermain-main dengan dinamika politik yang sifatnya sementara, daya kritis yang mengikis bahkan pondasi keislaman sebagai pondasi dasar kita goyah dengan perkembangan teknologi informasi dewasa ini, bukan berarti teknologi yang menjadi penyebabnya.


Kecanggihan teknologi informasi dewasa ini mempermudah segala aktivitas, yang semulanya secara konvensional, dan saat ini serba virtual. Yasraf Amir Piliang dalam jurnal yang berjudul ‘Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial’ berpandangan bahwa cyberspace telah mengalihkan berbagai aktivitas manusia (politik, sosial, pendidikan, ekonomi, kultural, spiritual, seksual) di dunia nyata ke dalam berbagai bentuk substitusi artifisialnya, sehingga apapun yang dapat dilakukan di dunia nyata kini dapat dilakukan dalam bentuk artifisialnya di dalam cyberspace.


Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan cyberspace yakni menghadirkan sebuah kehidupan yang dibangun sebagian besar mungkin nanti seluruhnya oleh model kehidupan yang dimediasi secara mendasar oleh teknologi, sehingga berbagai fungsi alam kini diambil alih oleh substitusi teknologinya, yang disebut kehidupan artifisial (Yasraf Amir Piliang).


Hal itu tentunya sebanding dengan berbagai macam kecanggihan teknologi yang kita nikmati saat ini, baik itu sebagai alat komunikasi bahkan mempermudah dalam dunia pendidikan pada khususnya. Hal itu tentunya memberikan dampak positif ketika dunia dilanda COVID-19, bagaimana proses pembelajaran dilakukan secara virtual yang tidak memungkinkan untuk dilakukan secara langsung, belum lagi berbagai aktivitas lainnya.


Oleh karena itu, pendidikan perlu diperhatikan secara serius dan bahkan ruang dialektikanya di buka seluas-luasnya. Karena perbincangan soal pendidikan akan menentukan denyut nadi pendidikan bangsa Indonesia baik saat ini maupun ke depannya.


Indonesia akan di hadapkan dengan bonus demografi, di mana usia produktif lebih dominan ketimbang usia tidak produktif. Di tahun 2030 mendatang Indonesia akan memasuki puncak bonus demografi, per tahun 2020 saja mengutip data BPS, jumlah penduduk usia produktif atau angkatan kerja sebanyak 140 juta jiwa dari total 270,20 juta jiwa penduduk Indonesia. Apalagi pada tahun 2030, jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat begitu pesat.


Maka dari itu, dalam menyambut momentum tersebut perlu skenario yang tepat maupun langkah-langkah konkret dari pemangku kebijakan, tidak lagi terjebak dengan hal-hal yang “receh”, tidak lagi menjadikan pendidikan sebagai alat politik praktis bagi pihak-pihak tertentu.*

 

Penulis:

 Izul Islamudin, M.Pd.


Editor:

KK/NI

 

×
Berita Terbaru Update