Prof. Gede Sri Darma dukung kebijakan Pemprov Bali (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, DENPASAR-Turis asing yang masuk ke Bali pada tahun 2024 akan diwajibkan membayar retribusi sebesar Rp 150.000 atau 10 dollar Amerika Serikat. Rencana pungutan tersebut diklaim penting untuk perlindungan kebudayaan dan lingkungan alam di Bali.
Pengamat Ekonomi, Prof. Ir. Gede Sri Darma, S.T., M.M., D.B.A., CFP, IPU., ASEAN Eng., berpandangan, pungutan yang setara dengan $10 ini sangat bagus.
"Cuma persoalannya sekarang, apakah mereka akan menerima. Karena mereka pergi kemana-mana tidak pernah ada pungutan aneh-aneh, semisal Perancis atau negara lainnya," ungkapnya, di ruang kerjanya, Rabu (16/8/2023).
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah kunjungan wisman yang berkunjung ke Bali selama periode Januari-Maret 2023 mencapai 1.026.367 kunjungan.
Pada bulan Mei 2023 tercatat sebanyak 439.475 kunjungan, naik 6,80 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 411.510 kunjungan. Wisatawan yang berasal dari Australia mendominasi kedatangan wisman ke Bali di bulan Mei 2023 dengan share sebesar 24,27 persen.
Diketahui Gubernur Bali, I Wayan Koster, menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali akan memberlakukan biaya tetap kepada turis asing yang akan masuk ke Pulau Dewata dengan wajib membayar retribusi sebesar Rp150 ribu untuk sekali datang ke Bali.
Prof. Ir. Gede Sri Darma sepakat, pungutan tersebut tak akan memengaruhi jumlah kunjungan wisatawan asing ke Bali jika diterapkan secara baik dan benar.
Bali sebenarnya telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2020 mengenai kontribusi wisatawan. Namun, dalam aturan tersebut, kontribusi bersifat sukarela. Adapun usulan retribusi Rp 150.000 bagi turis asing akan bersifat wajib dan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali.
Prof GSD juga mengingatkan soal sistem dan skema pungutan. Ia tak ingin, pungutan ini sampai bocor ke tangan yang tidak berhak.
Pemungutan yang akan dilakukan oleh pemerintah agar didiskusikan dengan baik untuk menjaga kenyamanan serta banyak kunjungan turis yang akan berkunjung ke Bali. Mengingat Bali merupakan penyumbang devisa negara terbanyak setelah Industri Minyak dan Gas.
Dari sisi ekonomi, Prof GSD menilai, pungutan ini menjadi peluang besar bagi Pulau Dewata.
Alasannya, Bali yang selama ini hanya mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak akan cukup mengcover kebutuhan dalam upaya perlindungan kebudayaan serta lingkungan alam.*
D/M