Foto penulis (dok. istimewa) |
"Petani muda merupakan energi baru bagi pertanian yang proaction untuk ketahanan pangan bangsa Indonesia"
Narasi Indonesia.com, YOGYAKARTA-Ketekunan
merupakan langkah mendasar bagi perubahan di sektor pertanian, perikanan dan
perkebunan, yang salah satu meruntuhkan stigma kemiskinan bagi petani, bahkan
tidak akan lagi terpolarisasi oleh kemiskinan ia harus menjadi lokus bagi
inspirasi bagi bidang unggul dalam pembangunan. Pertanian bukan stagnan dalam
pola transformatif bagi Negara asing dan pribumi menjadi budak yang runtuh yang
tidak mencapai keperadaban, artinya petani harus mampu membangun pola baru
dalam bidang pertanian yaitu menjadikan seluruh petani berkolega untuk berbisnis
sosial, dari hasil panen jagung dan komoditas lainya, hal ini dimaksudkan bagi
petani untuk mendekontruksi korporat elit bagi petani, kita harus bereksplorasi
dalam tatanan global berbasis kerakyatan, tentu ini akan berpengaruh bagi
keberlangsungan pertanian, karena ada mental perubah dalam masyarakat adalah
petani milenial.
Namun, keberhasilan yang dimaksud sebuah konsep simbolik untuk menunjukan terhadap pemerintah bagaimana peluang di bidang pertanian bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi, faktanya masih lemahnya kesejahteraan petani, hal tersebut tidak bisa kita abaikan, karena keberadaan petani kian tersurutkan dengan kesejahteraan, misalkan kondisi indonesia dalam jumlah penduduk miskin tahun 2023 sekitar 9,36%. Perihal tersebut kian memperburuk keberadaan petani. Selain memperburuk keadaan ini menunjukan adanya perbaikan dari komoditas dan regenerasi pemuda milenial yang masih mengharapkan perhatian besar dari pemangku kepentingan. Persoalan ini sebenarnya terhubung dengan konstruksi kolektif dan lebih sentralistik untuk menyelesaikan setiap sektor yang tersusun, maka outputnya akan diketahui dari proses usaha yang telah dilaksankan.
Kelugasan untuk mengambil sikap dan meleburkan diri yang masih krisis, sehingga terjadinya koesistensi akibat lemahnya minat pejabat publik dalam menyelesaikan persoalan yang masih simpang siur. Tentu hal ini akan melahirkan disorientasi dalam pemanfaatan kebutuhan individual dan Negara. Langkah alternatif dalam menakar persoalan ini harus diatensi dan akomodir secara faktual, upaya memudahkan generasi petani milenial dalam membangun kepentingan masyarakat dengan multikultural, ini yang masih terlihat keblinger pada internal pemangku kebijakan, kemandekan ini berpeluang besar bagi korporat elit borjuasi dalam membuat ruang pengalihan pemberdayaan terhadap lahan di sektor pertanian. Pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi pembangunan kepentingan akan semakin mempersempit ruang bagi petani untuk melakukan kegiatan bertaninya dan melemahkan generasi petani milenial membalik haluan atas perubahan kepentingan pemerintah dan oligarki dan merusakan ekosistem lingkungan, analisis ini masih belum terbangun oleh pemerintah dan membuat kondisi pertanian di masa depan nanti akan mengalami transisi akibat pola kepentingan yang berakhir. Dampak bagi masyarakat untuk merasakan kesetaraan dan kesejahteraan akan semakin menjauh, ketika aturan pemerintah masih dalam konsensus oligarki.
Maka petani milenial bukan hanya sebagai instrumen pengembangan akan tetapi harus ada dinamika yang berhaluan besar, semua ini dilakukan hanya semata visi keberlanjutan multisektoral dalam menjemput kebahagian pada petani, karena persoalan bangsa Indonesia hasil dari desain bangsa adidaya yang terwakilin oleh oligarki yang berkohesi dengan pemerintah bermental korporat elit. Kita tidak akan pernah mendapatkan solusi ketika masih dalam lingkaran baku, tentu harus ada alat produksi ideal untuk menjegal, dengan cara memadukan antara petani milenial dan non petani milenial.[1] Karena peran petani milenial sebagai jembatan penyambung dan memfasilitasi informasi bagi masyarakat petani agar terus berkontinyu menyediakan kebutuhan-kebutuhan strategis. Relasi dengan perkembangan teknologi adalah keharusan bagi petani milenial agar tidak menjadi prematur dalam perkembangan, sehingga puncak dari rencana bangsa Indonesia tidak hanya sekedar berganti warna layaknya integrasi bahan kimia, ia akan mengalami pengaruh yang signifikan dan kembali seperti semula, berangkat dari permasalahan ini menjadi pelajaran bagi seluruh penduduk Indonesia untuk terus berhubungan dengan informasi teknologi, agar ada pembaharuan bagi perkembangan pertanian. Maka kita semestinya mendorong petani milenial menjadi penentu untuk masa depan bagi bangsa Indonesia, karena petani milenial berperan penting bagi swasemba pangan. Prinsipnya Generasi milenial memiliki ciri yang khas sebagai individu yang dinamis, optimis, dan berpikir visioner sehingga menunjukan peta yang jelas bagi kemaslahatan petani, dan memiliki tingkat pendidikan yang baik serta jaringan sosial yang luas dan daya tanggap lebih responsif terhadap pemanfaatan teknologi dan informasi dalam mengembangkan produktivitas pertanian berkelanjutan.*
[1] Widiyanti, E., Utari, P., &
Padmaningrum, D. (2022, Desember). Arus informasi di kalangan petani dalam
percepatan pertanian 4.0. Dalam Seri Konferensi IOP: Ilmu Bumi dan
Lingkungan (Vol. 1114, No. 1, hal. 012015). Penerbitan IOP.
[2] Novisma, A., & Iskandar, E. (2023,
Mei). Kajian perilaku petani milenial dalam produksi pertanian. Dalam Seri
Konferensi IOP: Ilmu Bumi dan Lingkungan (Vol. 1183, No. 1, hal.
012112). Penerbitan IOP.
Penulis:
Anjasmara
Editor:
(m/NI)