Penulis, Egi Tonda Putra (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia com, MATARAM-Kontestasi Politik, dalam hal ini pemilu dan pilkada, belakangan selalu menyisakan ruang perbincangan di ruang publik oleh beberapa kalangan politisi, salah satunya terkait politik identitas. Terlebih pada pilkada DKI 2017 dan pemilu presiden 2019 yang lalu. Hajat politik pada saat itu terasah sangat riuh. Riuh tidak hanya karena euphoria karena event-nya, melainkan juga riuh dengan debat dan maraknya penggunaan isu politik identitas. Isu politik identitas memang tidak pernah usai utuk di perbincangkan, apalagi pada momentum mendekati pemilu, politik identitas selau dijadikan pembahasan yang pertama dan paling utama dalam pemilu, seakan-akan tanpa adanya pembahasan politik identitas, ibaratkan sayur yang tidak dimasukan garam nya, serasa ada yang kurang kalau tidak ada pembahasan politik identitas, dan juga pembahasan ini selalu dianggap seksi oleh para politisi Indonesia, bagi para politisi bahwa isu politik identitas merupakan masalah yang menarik untuk di bahas, apalagi pada saat mendekati pemilu, sebab masih banyak yang memiliki penafsiran yang berbeda-beda tentang politik identitas. Sehingga isu politik identitas tidak pernah selesai diperdebatkan di meja-meja kopi.
Lalu yang menjadi pertanyaannya kita semua, apakah politik identitas ini adalah sesuatu yang tabu dan terlarang? Apakah politik identitas itu adalah biang keladi dari munculnya polarisasi yang memicu kegaduhan antar anak bangsa? Apakah politik identitas bisa mengakibatkan disintegrasi bangsa? Apakah politik identitas hanya berbicara polarisasi hubungan antara agama saja?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas penulis akan mencoba mengkajinya sesuai dengan kemampuan yang penulis miliki. Kita perlu membedakan terlebih dahulu antara apa itu Identitas dan apa itu politik. Identitas adalah sesuatu yang melekat pada diri kita, sesuatu yang inheren dalam kehidupan dan aktivitas sehari-hari. Manusia atau kelompok tanpa identitas yang jelas, ia seperti tidak memiliki karakter yang menjadi kekhasan kepribadian atau kekhasan kelompoknya. Apalagi kita adalah negara demokrasi yang setiap orang sah secara hukum untuk mengekspresikan pandangan dan sikap yang mencerminkan identitasnya. Lalu kemudian politik. Politik secara hakekatnya merupakan kecenderungan alamiah yang dimiliki setiap manusia, politik selalu melekat dan mewarnai setiap aktivitas kehidupan manusia, politik merupakan suatu cara ataupun proses manusia untuk mencapai tujuan yang di inginkan/kepentingan, sehingga di dalam setiap interaksi pasti terdapat aktivitas politik didalamnya.
Sehingga kita dapat menyimpulkan dari dua definisi di atas tentang Politik dan Indentitas. Dalam padangan penulis, politik indentitas merupakan sesuatu hal yang wajar dan bahkan baik untuk di gunakan dalam kontestasi pemilu dan kontestasi lainnya, yang dimana kita juga adalah negara demokrasi, sehingga setiap warga negara bebas mengekspresikan dirinya mau itu secara Individual maupun kelompok dan juga Indonesia merupakan negara yang secara geografis nya terdiri darai ribuan pulau dan terletak di dua benua, yakni Asia dan Australia. Diapit oleh samudera hindia dan samudra pasifik, Nusantara memiliki ragam Agama, budaya dan bahasa yang unik. Sehingga sudah tidak bisa dielakkan lagi, dengan melihat indonesia yang memiliki berbagai macam suku/budaya dan agama yang berbeda-beda di setiap daerahnya, sudah pasti setiap suku/budaya dan agama di masing-masing daerah memiliki tujuan dan kepentingan tersendiri.
Dalam pandangan teori juga. Politik identitas bukanlah sesuatu hal yang buruk dan berbahaya, adanya praktik politik identitas tentunya berangkat dari suatu kekecewaan ataupun perilaku diskriminasi yang di dapatkan oleh beberapa kelompok, sehingga memicu gerakan politik dalam suatu kelompok tersebut. Menurut penulis, masalah ini merupakan sesuatu hal yang wajar dalam politik. Asalkan partiai politik identitas yang kita gunakan tidak merugikan orang lain, semisalnya merendahkan kelompok lain, memfitnah kelompok lain atau dak mendiskriminasi kelompok lain.
Secara sederhana menguatnya politik identitas mau, baik itu etnis, agama, suku, dan jender disebabkan karena kondisi sosial politik yang menyertainya. Misalnya. Salah satu riset disertasi yang dilakukan oleh Sri Astuti Buchari (2014) tentang kebangkitan suku Dayak di kalimantan, secara umum karena diskriminasi secara politik, mulai dari jaman kolonial belanda maupun jaman kesultanan, etnis Dayak dianggap sebagai alun atau kuli. Begitu juga dimasa Orde Baru, etnis dayak tidak banyak mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam jabatan-jabatan pemerintah serta ruang publik lainya. Ketika dinamika politik bangsa ini bergeser dari sistem sentralisasi ke desentralisasi dengan perangkat Undang-undang yang menyertainya UU No 22 Tahun 1999 Tentang otonomi daerah dan direvisi menjadi UU No 32 tahun 2004, telah memberikan angin segar bagi kekuatan-kekuatan politik lokal untuk meneguhkan identitas politik mereka yang selama ini direduksi perannya oleh rezim orde baru, dalam Jurnal (Ali S, 2019)
Juga penulis mengutip pandangan (M. Iqbal Ahnaf, staff pengajar FISIP Universitas Gadjah Mada, dalam buku Politik identitas Karya Eman Sulaeman). Bahwa dalam iklim demokrasi, pemilu adalah sarana yang aman dan menjadi jalan lain yang baik daripada cara kekerasan yang dapat digunakan masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan mereka atau merebut kekuasaan. Maka dalam konteks ini menurut Iqbal Hanafi, digunakan identitas dalam panggung politik adalah sah dan belum tentu berbahaya bagi demokrasi. Jadi, yang diperlukan adalah penegakan mekanisme yang memastikan bahwa praktik politik identitas dilakukan secara beradab, sebab untuk membebaskan demokrasi sepenuhnya dari politik indentitas adalah hal yang sulit terwujud, jika bukan mustahil.
Dalam padangan M. Iqbal Anhaf juga, inti permasalahan bukan pada boleh atau tidaknya menggunakan politik identitas, sebab itu sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dalam pesta sosial-politik masyarakat sekarang ini, melainkan lebih kepada cara politik identitas politik itu praktikkan. Dengan demikian menurutnya sah-sah saja jika ada individu ataupun kelompok sosial mengklaim bahwa perjuangan politik mereka adalah untuk mengangkat derajat Umat agama tertentu, melindungi hak-hak komunitas suku, masyarakat adat, dan seterusnya.
Dalam pandangan Fukuyama meyakini bahwa politik identitas melekat pada etos demokrasi dan liberalisme serta berakar pada modernitas itu sendiri. Faktanya memang selama ini politik identitas hampir semuanya tumbu subur di negara-negara yang mengusung sistem demokrasi. Hampir jarang terdengar politik identitas tumbuh secara bebas di negara yang non demokrasi.
Melihat fakta demikian, tampak bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan politik identitas. Dalam praktiknya demokrasi justru mengelaborasi kebijakan yang difokuskan pada perlindungan model sosial budaya yang berbeda.*
Penulis:
Egi Tonda Putra (Kader Hmi Komisariat Universitas Muhammadiyah Mataram)
Editor:
(m/NI)