Foto Ketua Umum PP Muhammadiyah (dok. Muhammadiyah.or.id) |
Narasi Indonesia.com, YOGYAKARTA-Muhammadiyah memandang
segala urusan politik, sampai dengan sistem politik masuk sebagai ranah
ijtihad. Sebab Nabi Muhammad tidak pernah menunjuk secara definitif, absolut,
dan tunggal sebuah sistem politik Islam.
Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam diskusi Rakernas Lembaga Hikmah dan Kebijakan
Publik (LHKP) PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada (29/9/2023),
dikutip pada laman resmi Muhammadiyah.or.id.
Haedar menjelaskan, sejak setelah meninggalnya Nabi
Muhammad, umat Islam melewati berbagai perdebatan tentang bentuk sistem
politik. Karena memang tidak disebutkan secara ‘jahr’ oleh nabi tentang bentuk
pemerintahan Islam itu seperti apa.
“Realitas ini sebagai sinyal kuat bagi kita, baik pembelajar
ilmu politik Islam maupun kita sebagai elit maupun umat Islam untuk menempatkan
politik yang rentangan aspek dan cara pandangnya yang A sampai Z,” ungka Haedar.
Sebab jika merujuk pada Al Qur’an dan Hadis tidak ada sistem
politik tunggal yang ditunjuk oleh Nabi Muhammad. Realitas tersebut menjadikan
muslim modern tidak memiliki pilihan tunggal ihwal sistem politik, baik sebagai
entitas nation maupun sebagai entitas state di negara-negara Islam.
“Karena memang bahan dasarnya berada pada wilayah ijtihad.
Masalah kemudian terjadi di kemudian hari ada golongan-golongan yang dengan
pandangan absolute, dan memutlakan pandangan-pandangan politik dan sistem
politik tunggal,” sambung Haedar.
Dikemudian hari, dengan menguatnya kelompok islamis
melahirkan dan mendefinitifkan sistem politik Islam yang tunggal dan absolute.
Karena pandangan ini, politik Islam menurut Bahtiar Effendy kehilangan tiga
aspek yaitu negosiasi baik di kalangan sendiri maupun dengan pihak lain.
Kedua, karena sistem politik tunggal dan serba prinsip umat
Islam kehilangan atau tidak bisa untuk beradaptasi. Dan yang ketiga karena
sistem politik tunggal tersebut umat Islam kehilangan atau tidak bisa berkompromi.
“Akibat tidak bisa mengelola tiga hal itu maka terjadilah
kegagalan politik Islam, dan kegagalan ini menambah dan mengakumulasi politik
Islam semakin rigid, reaktif, dan semakin ingin tunggal, dan gagalnya semakin
kuat. Dan dari ini kemudian lahir neo-revivalisme Islam, neo-fundamentalisme
Islam,” terang Haedar.
Haedar memandang kecenderungan sikap partai politik
sekarang, yang mengatasnamakan Islam lebih cenderung kepada neo-fundamentalisme
Islam. Menurutnya, kecenderungan tersebut semakin membuka potensi
kegagalan-kegagalan yang akan terus berulang.
Berangkat dari kenyataan tersebut, Haedar Nashir mendorong
kader-kader Muhammadiyah untuk memperkaya kemampuan ushul fikih dalam melihat
politik kebangsaan maupun orientasi real politik.*
(m/NI)