Foto Penulis (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-Terhitung
sekitar satu tahun kasus illegal logging yang terjadi di Desa Woro Kecamatan
Madapangga berlangsung. Tentu bahwa kasus illegal logging ini nantinya akan
berimplikasi banyak terhadap keberlangsungan ekologi yang ada di daerah
tersebut. Bencana alam akan menghampiri, sebut saja banjir bandang, tanah
longsor, dan juga berbagai kerugian material dan non material lain yang akan
siap menghantui masyarakat setempat.
Kasus
illegal logging yang terjadi tentu mendapat respon dari berbagai pihak, mulai
dari masyarakat sipil juga respon yang diberikan oleh aktivis mahasiswa yang
secara mendalam mengkaji berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran hukum yang
terjadi dalam aspek ekologi di wilayah terkait.
Kasus
illegal logging yang dimana berkaitan dengan penebangan kayu sonokeling yang
terjadi di Desa Woro Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima seolah-olah kebal
hukum. Pada dasarnya kayu sonokeling bukan termasuk kayu yang dilindungi, akan
tetapi dalam proses pemanfaatannya harus melalui mekanisme dan alur yang cukup
ketat.
Sonokeling
masuk dalam appendix II CITES. CITES (Convention on International Trade In
Endangered Species Of Wild Fauna and Flora) yakni perjanjian internasional
antarnegara yang bertujuan untuk dapat melindungi tumbuhan dan satwa liar
terhadap perdagangan internasional. Kategori Appendix II merupakan jenis
tumbuhan yang belum terancam punah akan tetapi perdagangannya harus dikontrol
secara ketat sehingga tidak terancam punah di kemudian hari.
Peredaran
sonokeling (Dalbergia Latifolia) harus melewati mekanisme yang ketat,
pihak yang mengedarkan kayu tersebut harus memiliki dokumen Surat Angkut
Tumbuhan dan Satwa Liar dalam negeri (SAT-DN) yang pelaksanaannya mengacu pada
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha
Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Surat
angkut harus dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sesuai kesepakatan
otoritas terkait di Nusa Tenggara Barat. Surat angkut bisa diberikan setelah
ada berita acara yang verifikasi oleh tim satgas yang telah dibentuk, dan
setiap permohonan izin edar harus dicantumkan potensi tumbuhannya oleh pihak
yang meminta.
Izin
yang diberikan merupakan izin berkaitan dengan peredaran bukan izin penebangan,
karena yang harus dipertegas kayu tersebut tidak memerlukan izin tebang dari
siapapun sepanjang berasal dari hutan hak artinya milik masyarakat sendiri.
Ketika penebangan liar di luar dari hutan hak yang menjadi hak atas tanah milik
masyarakat maka itu termasuk tindak pidana dan bisa dijatuhi hukuman, termasuk penebangan yang dilakukan di hutan negara.
Kenapa
kemudian bisa dikatakan bahwa kasus illegal logging ini kebal hukum, itu bisa
dilihat secara de facto seperti yang
terjadi di lapangan. Ikhtiar satu tahun perlawanan yang dilakukan
oleh aktivis lingkungan dan aktivis mahasiswa untuk menjaga kelestarian dan
keberlangsungan hutan setempat seakan tak menemui titik temu.
Laporan
yang dimasukan mulai lewat Kesatuan Pengelolaan Hutan Madapangga Rompu Waworada
(KPH Marowa), Polisi sektor Madapangga, Polisi Resor Kabupaten Bima, Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, sampai Polisi
Daerah Nusa Tenggara Barat akan tetapi kegiatan illegal logging masih saja
terjadi di wilayah tersebut.
Tidak
ada langkah konkrit yang kemudian diambil oleh instansi-instansi terkait mengenai masalah
yang terjadi. Beberapa alat bukti diamankan oleh pihak Polsek setempat kemudian
barang bukti didistribusikan ke Polres Kabupaten Bima, akan tetapi penetapan
tersangka dan aktor utama dari permasalah ini belum kunjung didapatkan, itu
terbukti dengan makin masifnya
kegiatan illegal logging terjadi di wilayah tersebut.
26
september 2023 dari berita yang diangkat oleh Kabar Oposisi NTB diduga pihak
Polres Kabupaten Bima melepas barang bukti kayu illegal logging yang sudah
diamankan sebelumnya. Sontak tindakan tersebut direspon oleh LSM Peluru (Aktivis setempat) dengan
melakukan aksi bakar motor di depan kantor camat madapangga.
Empat
hari sebelumnya beberapa warga Desa Woro Kecamatan Madapangga melakukan aksi
demonstrasi di depan kantor desa dengan tuntutan bahwa pemerintah Desa Woro
harus segera melaporkan berkaitan dengan kasus illegal logging yang sedang
terjadi. Narasi kemudian yang dikeluarkan oleh massa aksi pada saat itu menduga
bahwa ada praktik terselubung yang diduga melibatkan stakeholder-stakeholder di
desa dan instansi pemerintah lainnya.
Tentu
dua hal di atas kemudian dijustifikasi kebenarannya dimana sampai sekarang
kegiatan illegal logging semakin marak terjadi dan menimbulkan kekhawatiran
dari berbagai pihak tentang kondisi alam setempat yang kian hari kian
mengkhawatirkan. Selain kerusakan hutan terjadi karena pembukaan lahan
pertanian yang dilakukan oleh masyarakat setempat, hal tersebut kemudian
diperparah dengan kegiatan illegal logging yang semakin membabi buta.
Ketidakmampuan
instansi setempat mulai dari pemerintah desa sampai pemerintah provinsi dalam
menyelesaikan masalah ini kemudian menimbulkan kecurigaan besar sesuai beberapa
rasionalisasi yang disampaikan sebelumnya, bahwa telah terjadi konspirasi
stakeholder dalam permasalah kasus illegal logging yang terjadi di Desa Woro
Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.
Apakah
kemudian setiap pihak yang terlibat perlu membaca opini yang dituliskan Dhimas
Ginanjar pada Jum’at 22 April 2022 ketika memperingati hari bumi, dengan judul
yang sebenarnya bisa membuat kita merefleksikan diri secara bersama tentang
kondisi alam dan bumi kita saat ini yang sudah masuk fase kronis, yakni
“Sudilah Mendengar Suara Bumi”.*
Editor:
(m/NI)