Adjie Alfaraby Direktur dan Peneliti Senior LSI Denny JA (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, JAKARTA-Pemilihan legislatif 2024 telah selesai. Salah satu topik diskusi yang hangat didiskusikan di publik Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah kegagalan PPP memperoleh kursi DPR RI dari dapil Sultra, padahal caleg nya Andi Sumangerukka (ASR) adalah peraih suara terbesar kedua dari semua caleg.
Diskusinya semakin menarik, karena ASR jauh sebelum Pileg, berencana akan maju dalam Pilkada Sultra pada November 2024 mendatang. Bagaimana hasil Pileg ini berimplikasi pada peluang ASR pada Pilkada Sultra 2024?
Sebenarnya ASR tak sendiri. Kerasnya Pileg 2024 membuat sejumlah tokoh kuat di Sultra pun gagal ke Senayan. Mereka diantaranya Ali Mazi, Hugua, La Ode Ida, dan Kerry Saiful Konggoasa (KSK). Namun suara yang diraih ASR pada Pileg lalu adalah "sesuatu". Mengapa sesuatu? Karena ASR bukanlah tokoh kepala daerah, atau tokoh politik yang sudah lama melanglang buana di Sultra.
Dalam panggung politik Sultra, ASR adalah tokoh baru. Namun perolehan suara ASR pada Pileg lalu jauh melebihi para tokoh lama politik Sultra. Perolehan suara personal ASR mencapai 96.688 suara. Bandingkan dengan Ali Mazi, Gubernur Sultra, yang hanya memperoleh 68.099 suara. Bandingkan dengan KSK, mantan bupati Konawe selama dua periode, hanya memperoleh 47.966 suara. Bandingkan dengan Hugua, mantan bupati Wakatobi dan petahana DPR RI, hanya memperoleh 41.165 suara. Bahkan suara ASR lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah nama tokoh yang lolos ke senayan.
Misalnya bandingkan dengan Tina Nur Alam, istri mantan Gubernur Nur Alam dan petahana DPR RI, yang hanya memperoleh suara 68.683. Bandingkan juga dengan Rushda Mahmud, mantan bupati Kolaka Utara dua periode, yang hanya memperoleh 62.078 suara, dan bandingkan dengan Ahmad Safei, mantan bupati Kolaka,yang hanya memperoleh 58.466 suara.
Lalu mengapa perolehan suara ASR yang besar tak mampu mengantarkan PPP memperoleh kursi DPR RI dari dapil Sultra? Saya melihat setidaknya ada 3 (tiga) penjelasan.
Pertama, hanya ASR pendulang suara di PPP. Total suara ASR sebesar 96.688 suara. Sementara suara total yang diraih PPP (gabungan suara partai dan suara caleg) sebesar 118.350 suara. Artinya 82% dari suara yang diraih PPP disumbangkan ASR. Sementara total suara caleg yang lain jika dikumpulkan hanya 18 % dari suara yang diperoleh ASR. Partai lain yang akhirnya memperoleh kursi seperti Gerindra, Nasdem, PDIP, dan Demokrat punya pendulang suara lebih dari satu caleg.
Kedua, ketika kepemimpinannya PPP Sultra beralih ke ASR, partai itu ibarat kapal yang sedang karam. Performa organisasi partai itu tidak baik-baik saja sebelumnya. Belum lagi peralihan kepemimpinan yang tetap menyisakan residu konflik internal. ASR tak punya cukup waktu pula untuk membenahi partai, karena hanya tersisa waktu 8 bulan menjelang pemilu.
ASR menghadapi dilema antara membenahi partai di satu sisi, dengan kebutuhan mengisi daftar caleg partai yang sudah dateline. Untuk membenahi partai, tombol filter harus diaktifkan, untuk menyeleksi kader terbaik. Namun untuk memenuhi kuota caleg, kadang tombol filter harus dinonaktifkan. Konsekuensinya pemilihan caleg-caleg untuk bertarung di level kabupaten, provinsi dan nasional tak bisa diverifikasi secara komprehensif. Di level nasional, PPP tak punya pendulang suara signifikan selain ASR.
Di level provinsi, misalnya kita mengambil contoh Dapil Sultra 5 (Kolaka, Koltim, dan Kolut). Suara personal ASR saja di dapil tersebut sebesar 23.120 suara. Sementara suara dukungan semua caleg dan PPP untuk DPRD Provinsi dapil Kolaka raya tersebut hanya sebesar 16.649 suara. Artinya ada disparitas suara antara caleg nasional dengan caleg level di bawahnya.
Ketiga, tak bisa dipungkiri ada efek Pilpres terhadap perolehan suara di Sultra. Secara nasional PPP adalah partai koalisi pendukung Ganjar-Mahfud. Data rekap KPUD Sultra menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran menang telak di Sultra. Prabowo-Gibran memperoleh suara sebesar 71.11 % suara. Sementara Ganjar-Mahfud hanya memperoleh 5.79% suara. Dalam Pilpres dan Pileg serentak, ada istilahnya coattail effect, atau efek ekor jas. Dimana biasanya partai koalisi capres tertentu memperoleh efek dukungan dari pemilih yang memilih capres dari koalisi tersebut. Di Sultra, Gerindra memperoleh efek positif kemenangan telak Prabowo.
Gerindra memperoleh 233.478 suara,dan menjadi pemenang pemilu nasional di Sultra. Perolehan suara Gerindra naik jauh dari pemilu 2019 yang hanya 151.872 suara. Sementara PDIP mengalami penurunan suara jika dibandingkan dengan pemilu 2019. Pada pemilu 2019, PDIP memperoleh 183.197 suara, sementara pada pemilu 2024, suara PDIP turun menjadi 175.830 suara. Ada efek ekor jas negatif yang dialami PDIP di Sultra. PPP sendiri sebenarnya mengalami peningkatan suara jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Pada pemilu 2019, PPP hanya memperoleh 65.284 suara dan mengalami kenaikan pada pemilu 2024 menjadi 118.350 suara. Sudah pasti kenaikan PPP ini lebih karena kontribusi suara dukungan terhadap ASR. PPP tak bisa mendulang suara lebih besar karena efek negatif ekor jas dukungan terhadap Ganjar-Mahfud yang kalah telak di Sultra.
Dengan statusnya sebagai tokoh baru, meskipun gagal mengantarkan PPP memperoleh kursi dari dapil Sultra, namun perolehan suara yang diraih oleh ASR menjadi 'penanda politik' dalam panggung politik Sultra dan ibarat menjadi New Kids On The Block bagi para tokoh lama politik Sultra. Lebih jauh, saya ingin mengatakan bahwa meski gagal sebagai caleg, pesona ASR sebagai cagub tetap kokoh.
Setidaknya ada 2 (dua) faktor yang menjelaskan mengapa pesona ASR sebagai cagub masih kokoh. Pertama, meskipun gagal memperoleh kursi, namun perolehan suara ASR dalam Pileg paling tinggi dibandingkan para cagub lain yang namanya sudah sering muncul jauh sebelum Pileg 2024. Nama-nama yang sering muncul dalam bursa cagub sebelum Pileg misalnya KSK, Tina Nur Alam, La Ode Ida, Abdurrahman Saleh, dan Rushda Mahmud, suaranya jauh di bawah ASR.
Kedua, hasil jajak pendapat berbagai lembaga survei selalu menempatkan ASR dalam dua besar cagub dengan elektabilitas tertinggi. Bahkan survei dari lembaga survei nasional seperti Charta Politika Indonesia dan LSI Denny JA, menempatkan ASR dalam peringkat pertama cagub paling dipilih. Sebagai bocoran, survei LSI Denny JA pada akhir Januari 2024 kemarin, masih menempatkan ASR pada posisi teratas cagub Sultra. Perjalanan pemilu kita menunjukkan bahwa pemilu legislatif dan pemilu kepala daerah adalah dua lanskap pemilu yang berbeda. Pemilu legislatif menghadirkan banyak kandidat untuk dipilih.
Sementara pemilu kepala daerah hanya menghadirkan sedikit kandidat untuk dipilih. Apakah ASR yang perkasa di Pileg, akan pula perkasa di pemilu kepala daerah? Kita akan punya jawaban 8 bulan mendatang.*
Penulis:
Adjie Alfaraby (Direktur dan Peneliti Senior LSI Denny JA)
Editor:
(m/NI)