![]() |
Prof. Dr. Asep Sunandar, S.Pd. M.AP. Guru Besar Manajemen Satuan Pendidikan Universitas Negeri Malang (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-Istilah makan gratis dewasa ini sedang menjadi perbincangan hangat, ada yang mendukung, meragukan bahkan memprotes rencana program tersebut. Secara topologi budaya masyarakat Indonesia istilah “makan gratis” dikemas dalam berbagai istilah. Ada yang disebut dengan “berkatan, megengan, munggahan, kupatan” di masyarakat Jawa Timur, yang kesemuanya disiapkan beraneka ragam makanan secara cuma-cuma alias gratis. Di masyarakat Sunda juga dikenal istilah “murak timbel, botram, salametan” yang semuanya tersajinya berbagai makanan yang bisa dinikmati secara gratis. Sumatera Utara dengan Mayoritas Suku Batak juga mempunyai tradisi “mangupa upa” yaitu tradisi syukuran versi batak, biasanya dilakukan masyarakat sebagai rasa syukur seperti pernikahan, kelahiran, kenaikan pangkat, menenmpati rumah baru dan lain sebagainya. Layaknya di Pulau Jawa tradisi mangupa upa juga dilengkapi dengan sajian makan gratis. Pada masyarakat Banjar Kalimantan Selatan juga ada istilah “warung gratis atau dapur gratis” yang biasanya dilaksanakan bersamaan dengan haul tokoh kharismatik Banjar yaitu Alm. Guru Zaini (Dikenal sebagai Guru Sekumpul Martapura), masyarakat secara gotong royong menyiapkan jamuan makanan untuk para tamu yang hadir di acara tersebut.
Terlepas dari program salah satu Capres/Cawapres, penulis mencoba mengkaji rasionalitas implementasi program tersebut secara objektif. Mencermati hitung-hitungan matematis beberapa ahli yang sudah tersebar diberbagai media, memang program tersebut akan menyedot anggaran yang tidak sedikit. Bayangkan saja menurut laporan Kemdikbud Ristek jumlah murid pada semester ganjil tahun 2023/2024 sebanyak 53,14 juta orang, kalau jumlah tersebut dikalikan dengan harga nasi kotak standar layak seharga 20,000 rupiah, maka sekali jamuan makan dibutuhkan anggaran 1.062.800.000.000. sungguh sangat fantastis, sepertinya sangat mustahil program tersebut terealisasi secara menyeluruh.
Rasionalitas Pembiayaan Sekolah Gratis
System pembiayaan sekolah dikenal dua kategori yaitu unit cost dan total cost, unit cost adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan personal seorang siswa. Contoh ada biaya transportasi, uang saku/jajan, biaya pulsa, bahkan anak jaman now membutuhkan make up atau paling tidak pembersih muka bagi siswa laki-laki. Sementara itu yang dimaksud dengan unit cost adalah sejumlah biaya yang harus dikeluarkan sekolah untuk menjalankan proses pendidikan, contohnya biaya listrik, biaya air/PDAM, pembayaran guru honorer, biaya langganan internet sekolah, pembelian ATK, pemeliharaan Gedung dan taman. Jika menilik anggaran dana BOS yang pencairannya rata-rata 3 bulan sekali dengan alokasi minimal 900,000/siswa/tahun untuk jenjang SD sederajat, dan minimal 1,100,000 rupiah untuk siswa SMP/tahun. Besaran Dana Bos tahun 2024/2025 ditetapkan dengan rentang :
- Dana
Bos SD antara Rp. 900.000 – Rp. 1.960.000 per siswa
- Dana
Bos SMP antara Rp. 1.100.000 – Rp. 2.480.000 per siswa
- Dana
Bos SMA antara Rp. 1.500.000 – Rp. 3.470.000 per siswa
- Dana
Bos SMK antara Rp.1.600.000 – Rp. 3.720.000 per siswa
- Dana Bos SLB antara Rp. 3.500.000 – Rp. 7.940.000 per siswa.
Jika diasumsikan jumlah siswa SD negeri rata-rata berjumlah 80 orang/sekolah maka setiap sekolah akan menerima dana BOS sebesar 72.000.000,- Merujuk Permendikbud Ristek No 63 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS, jenis-jenis kegiatan yang dapat didanai sudah ditetapkan dalam peraturan tersebut sehingga kepala sekolah tidak diperbolehkan membuat program diluar kegiatan yang sudah ditetapkan. Jika sekolah melalui dana BOS menyediakan hidangan makan siang gratis, dari 80 orang siswa sekolah harus mengeluarkan dana 20 hari dikali 20.000 dikali 80 siswa. Dalam sebulan saja sekolah harus mengeluarkan dana 32.000.000,- rupiah. Tentu ini sesuatu yang tidak mungkin direalisasikan melalui pendanaan dana BOS. Untuk operasional sekolah saja pada dasarnya dana BOS, tidak bisa memenuhi, jika guru honorer dibayar dengan standar upah regional yang ditetapkan pemerintah daerah, sebut saja gaji guru di Kota Malang dengan UMR sebesar 3.309.144,-. Maka jika setiap sekolah memiliki 2 guru honorer, total pengeluaran sekolah untuk 2 guru tersebut selama 1 tahun sebesar 79.419.456. sungguh miris gaji guru non PNS masih sangat jauh dari standar pengupahan yang layak.
Mencermati kondisi tersebut maka bisa ditarik benang merah bahwa program dana BOS baru sifatnya membantu operasional sekolah, belum mampu menggratiskan seluruh biaya pendidikan seperti dalam konsep sekolah pembiayaan sekolah unit cost dan total cost. Untuk itu, sebagai upaya merealisasikan program mulai makan gratis perlu dilakukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, pelaku usaha dalam wadah penta holik.
Membangun Kebersamaan
Layaknya
beberapa istilah makan gratis yang ada di masyarakat kita program makan gratis
harus melibatkan berbagai komponen masyarakat. Dalam tradisi masyakat Indonesia,
acara-acara adat selalu dilaksanakan secara bersama dan gotong royong, biasanya
masyarakat atau tetangga dan saudara ada yang menyumbang bahan makanan seperti
beras, telur, ayam, ikan mie kenduri, bahkan daging serta lainnya, dan tidak
sedikit juga yang menyumbang tenaga. Dengan kebersamaan dan gotong royong
tersebut maka alokasi penyiapan hidangan makanan menjadi minim.
Pemerintah
harus membangun kebersamaan dan bahkan mendorong kembali tradisi-tradisi gotong
royong yang di sebagian masyarakat perkotaan mulai luntur. Kemitraan pemerintah
dan masyarakat dapat dilakukan secara perwilayah, misalkan di suatu desa,
pemerintah dapat membeli bahan pokok makanan yang sudah ada di desa, misalkan
di desa penghasil padi maka berasnya dibeli melalui kepala desa setempat, desa
penghasil sayuran juga begitu, desa penghasil telur atau ayam broiler juga
dibeli langsung dari masyarakat setempat, lalu bahan makanan itu
didistribusikan untuk saling melengkapi ke berbagai desa. Selanjutnya bahan
makan dimasak oleh ibu-ibu PKK setempat, setelah selesai dimasak makanan
didistribusikan relawan ke sekolah-sekolah yang ada di desa tersebut. Dengan
mekanisme kerja kebersamaan dan gotong royong, tidak ada yang tidak mungkin
bagi masyarakat Indonesia.
Kebersamaan
dan gotong royong adalah senjata mutahir bangsa Indonesia untuk mewujudkan
Indonesia maju. Sudah sepantasnya kita kembali dan menguatkan nilai-nilai
budaya local yang adiluhung tersebut. Program makan gratis bisa jadi akan
menjadi katalisator tumbuh berkembangnya semangat kebersamaan dan gotong royong
masyarakat Indonesia. Semoga..*
Penulis:
Prof. Dr. Asep Sunandar, S.Pd. M.AP. (Guru
Besar Manajemen Satuan Pendidikan Universitas Negeri Malang)
Editor:
(m/NI)