Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Menggali Akar Masalah Korupsi: Ironi Pemburu Rente di Tengah Kekayaan Maluku Utara

Minggu, 24 Maret 2024 | Maret 24, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-03-25T06:29:34Z

Penulis, Safrudin Taher Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta (dok. istimewa)

Narasi Indonesia.com, MALUKU UTARA-Maluku Utara merupakan sebuah provinsi yang kaya akan potensi alam dan keindahan, kendati demikian Maluku Utara menyimpan sejumlah masalah yang memprihatinkan ditengah kekayaan alam dan potensi yang ada saat ini. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan maraknya para pejabat daerah terjerat dalam pusaran kasus korupsi dan pemburu rente yang merugikan. Maraknya praktik korupsi dan pemburu rente di Maluku Utara merupakan sebuah ironi.


Pemburu rente adalah sebuah konsep di mana kelompok kepentingan mencari keuntungan ekonomi melalui manipulasi dan eksploitasi kekuasaan mereka, bukan melalui aktivitas produktif seperti perdagangan. Praktik ini sering kali melibatkan penggunaan pengaruh untuk mendapatkan keuntungan seperti monopoli, subsidi, hak istimewa pajak, dan lisensi. Terperangkapnya Maluku Utara dalam pusaran pemburu rente didasarkan pada sejumlah fakta dan data yang terpercaya terkait dengan kasus-kasus korupsi yang telah terungkap baru-baru ini yang melibatkan pejabat publik, poilitisi dan pengusaha tambang/nikel. Kasus-kasus korupsi yang terungkap menunjukkan dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Maluku Utara justru disalahgunakan oleh segelintir individu yang rakus akan kekuasaan dan keuntungan pribadi. Fenomena ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap integritas pemerintah dan lembaga hukum.


Berdasarkan laporan media terdapat beberapa kasus korupsi yang signifikan yang melibatkan pejabat publik di Maluku Utara. Pada Tahun 2023, Mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba terlibat kasus suap yang mengarah ke obral izin tambang nikel hingga  praktik korupsi jual beli izin tambang. Selain terlibat kasus suap dalam izin usaha pertambangan, kasus serupa juga diduga terjadi pada pengadaan barang dan jasa, serta jual-beli jabatan di lingkungan pemerintah Maluku Utara.  Selain AGK dan Stevi (Swasta), lima orang tersangka lainnya yaitu Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Maluku Utara Adnan Hasanudin (AH), Kepala Dinas PUPR Maluku Utara Daud Ismail (DI), Kepala Badan Pengadaan Barang dan Jasa Ridwan Arsan (RA), Ajudan Gubernur Ramadhan Ibrahim (RI) dan swasta Kristian Wulsan (KW). (Bisnis.com, 2024). Kasus ini menunjukkan tingginya tingkat korupsi di tingkat pemerintahan tertinggi di provinsi Maluku Utara.


Indikator korupsi yang diteliti oleh indeks persepsi korupsi (CPI) dari Transparency International juga dapat memberikan gambaran tentang tingkat korupsi di suatu negara. Menurut laporan CPI tahun 2023, Indonesia menduduki peringkat ke-115 dari 180 negara, hal ini menunjukkan bahwa negara yang perbaikan berkelanjutan dan perubahan signifikan pada tingkat korupsinya masih sedikit (sustain.id, 2024). Meskipun tidak secara khusus merinci situasi di Maluku Utara, penempatan Indonesia di peringkat tersebut menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah yang relevan di banyak wilayah di Indonesia termasuk Maluku Utara.


Hasil penelitian lain yakni Transparency Internasional Indonesia (TII) yang mengungkap keterlibatan sejumlah pejabat dan politisi dari Maluku Utara dalam industri pertambangan nikel di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah. Aktor-aktor yang terlibat termasuk mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, serta duguan keterlibatan beberapa pejabat lainnya seperti Plt Gubernur Ali Yasin, penjabat Bupati Halmahera Tengah Ikram Malan Sangadji, wakil bupati Kabupaten Halmahera Timur Anjas Taher, Sekretaris Daerah Halmahera Timur Ricky Chairul Richfat, politikus Benny Laos, dan Edy Langkara yang merupakan mantan Bupati Halmahera Tengah. Dugaan keterlibatan anggota DPD RI terpilih dari Dapil Maluku Utara, Graal Taliawo, juga disebutkan dalam industri pertambangan di Halmahera Tengah. Berdasarkan fakta-fakta ini, dapat disimpulkan bahwa Maluku Utara tidak terlepas dari masalah korupsi yang merajalela, yang menunjukkan adanya praktik pemburu rente.


Hasil penelitian Dini Rizki Fitriani, 2021 menunjukan  bahwa praktek pemburu rente (rent-seeking) terjadi dengan tujuan untuk memelihara dukungan dari para pendukung politiknya. Dalam mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, elit birokrasi maupun politisi seringkali mendapat sokongan dana dari para pengusaha, sehingga seringkali banyak terjadi kasus-kasus kolusi, korupsi dan nepotisme yang dilakukan para elit politik dan birokrat. Sebagai bagian balas budi, elit politik dan pejabat birokrasi melancarkan kepentingan para pengusaha dalam mencapai tujuan ekonomi/bisnisnya. Melalui praktek rent seeking (pemburu rente) ini menunjukkan ‘kerjasama’ elit birokrasi, politisi dan pengusaha (sebagai sumber dana) sebagai jalinan klientelistik yang mencerminkan pencapaian kepentingan elite birokrasi, politisi dan pengusaha diatas kepentingan publik.


Fenomena-fenomena diatas menghambat pembangunan daerah sekaligus merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga hukum. Korupsi dan praktik pemburu rente memiliki dampak yang serius. Salah satu dampaknya adalah menghambat pembangunan infrastruktur dan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Dana publik yang disalahgunakan dapat mengarah pada alokasi yang tidak efisien, menyebabkan pembangunan yang lambat atau bahkan stagnan, menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah. Investor cenderung enggan berinvestasi di daerah yang diwarnai oleh korupsi dan ketidakpastian hukum, yang berujung pada rendahnya lapangan kerja dan peluang ekonomi bagi masyarakat serta menciptakan ketidakstabilan politik dan sosial di daerah. 


Manipulasi sumber daya dan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi tidak hanya menghambat pembangunan, tetapi juga memperburuk ketidaksetaraan dan kemiskinan, serta menciptakan kondisi yang memperkuat korupsi dan pemburu rente lebih lanjut. Pencarian keuntungan (rent-seeking) dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dan masyarakat karena mengalihkan sumber daya dari kegiatan produktif, mendistorsi mekanisme pasar, dan menyebabkan inefisiensi. Hal ini dapat mengakibatkan keuntungan yang tidak adil bagi kelompok tertentu, korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang pada akhirnya menghambat pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pemburu rente menjadi akar masalah dari munculnya korupsi sebab praktik ini memberi peluang terciptanya manipulasi kebijakan sebagai implikasi dari kesepakatan dan lobby politik di luar struktur lembaga formal (Hogan et al., 2011).


Dengan demikian, upaya untuk memerangi korupsi dan praktik pemburu rente di daerah (Maluku Utara) sangat penting untuk mencegah kemunduran yang lebih lanjut dan mempromosikan pembangunan yang berkelanjutan serta kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia sangat penting dalam memberantas praktik pemburu rente dan korupsi.*


Penulis:

Safrudin Taher (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta)


Editor:

(m/NI)

×
Berita Terbaru Update