Presiden Ir. H. Joko Widodo (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, JAKARTA-Sebuah kezaliman jika pemilik Pajero menuntut subsidi BBM, sementara tetangga sebelah rumah sedang gelisah apakah besuk masih bisa beli beras atau tidak ?
Yang baik-baik kita pujikan yang kurang baik kita luruskan — begitulah wasathiyah yang saya pahami.
Saya (Jokowi) pernah ditanya : Kenapa jalan Trans-Papua dibangun, apakah nanti akan memberikan pertumbuhan ekonomi ? Ini kaya telur sama ayam. Apakah kita harus nunggu papua ekonominya tumbuh dengan baik baru kita bangun ? Apakah seperti itu ?
Buat saya tidak. Kita bangun jalannya dulu. Dan kita harus meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi itu akan berjalan, bisa cepat dan bisa tidak cepat. Ini bukan untuk yang lain-lain. Ini adalah pemerataan. Ini adalah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalau sudah membangun seperti itu jangan pakai itung-itungan dan mikir untung dan rugi.
Jokowi sedang berihtiar kemudian tawakkal — bangun jalan trans Papua kemudian yakin ekonomi di Papua bakal tumbuh baik — Insya Allah.
Saya tidak pernah mendukung apalagi memilihnya, tapi saya menghormatinya sebagai seorang Presiden sekaligus Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Pidato pak presiden ini sangat menarik — sekaligus menunjukkan kepada kita madzab apa yang dipakai untuk membangun Indonesia selama masa periodenya,
Ada puluhan madzab ekonomi yang kerap dipakai membangun sebuah negeri, dan presiden punya prerogratif untuk memilih sesuai selera yang di ingini dan sangat mungkin seleranya tak sama, sebab itu diharap mafhum jika banyak ekonom berselisih, berkonflik dan berikhtilaf karena perbedaan madzhab.
Khilafiyah tidak melulu urusan fiqh tentang Basmalah dibaca sir atau jahr, baca qunut atau tidak pada saat shalat subuh, tapi juga dalam ekonomi. Barista pun juga berikhtilaf, apakah gula atau kopi yang lebih dahulu masuk gelas, apakah air dicor saat masak atau nunggu sesaat— apakah kopi diseduh atau dibiarkan larut sendiri, ini soal selera. Dan Jokowi tetaplah seorang presiden dengan segala kewenangan yang dilindungi konstitusi.
Para ekonom berkelas alumni Baekelay: Prof Sumitro Djojohadikoesoemo, Prof Johanes Baptista Sumarlin, Prof Ali Waedhana, Radius Prawiro hingga Prof Emil Salim yang kemudian dikenal Mavia Baekelay juga pernah malang melintang pada masa orde baru — teori bottonup dan topdown pernah dipilih dan dijajal untuk mebangun ekonomi agar semua rakyat sejahtera adil dan merata.
Saat ini, sebagian besar ekonom mengikuti dua pendekatan: ekonomi arus utama (atau ‘ekonomi ortodoks’). Ekonomi arus utama terbagi menjadi dua aliran, yakni aliran ‘air asin’ (Berkeley, Harvard, MIT, Pennsylvania, Princeton, dan Yale), dan pemikiran laissez-faire dari aliran ‘air tawar’ (Universitas Carnegie Mellon, Rochester, Minnesota, dan Eropa). Kedua aliran pemikiran ini dikenal dengan sintesis neoklasik.
Beberapa pendekatan yang berpengaruh pada masa lalu, seperti aliran sejarah ekonomi dan ekonomi institusional, tidak lagi berlaku atau berkurang pengaruhnya, dan saat ini dianggap sebagai pendekatan heterodoks. Pemikiran heterodoks terkini termasuk feminis, ekonomi hijau, ekonomi pascaautistik, dan termoekonomi. Dan Saya sedang tak harus tau, Jokowi mengikuti madzab ekonomi yang mana.
Dalam hal keadilan pun kita juga belum bersepakat : apakah keadilan distributif atau keadilan komulatif— apakah saudara kita di Papua tidak berhak mendapatkan jalan yang mulus, harga BBM yang sama dengan di Jawa. Sekolah dekat rumah yang berkualitas atau layanan rumah sakit yang layak, setidaknya tidak perlu harus terbang ke Jakarta untuk mendapatkan bodrex saat kepala pening dan stopcret obat perut mules— Wallahu ta’ala a’lm.*
Penulis:
Nurbani Yusuf (Komunitas Padhang Makhsyar)
Editor:
(m/NI)