![]() |
Riyanda Barmawi Direktur Eksekutif Anatomi Pertambangan Indonesia (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, JAKARTA-Industri pertambangan mineral dan logam memainkan peran penting selama dasawarsa terakhir. Peran ini mendapatkan momentumnya di tengah desakan transisi menuju energi terbarukan yang mensyaratkan ketersediaan berbagai bahan mentah dalam jumlah signifikan. Kondisi ini membuat permintaan atas mineral dan logam diproyeksi meningkat pesat.
Menurut perhitungan International Energy Agency (IEA) permintaan mineral untuk keperluan teknologi ramah lingkungan berpotensi melonjak enam kali lipat tahun 2040 (International Energy Agency, 2021). Tingginya peningkatan ini merupakan konsekuensi dari komitmen politik komunitas global di dalam mewujudkan netralitas iklim global pada 2050.
Peluang yang prospektif ini menarik sektor pertambangan mineral dan logam ke posisi krusial dalam percaturan ekonomi, bisnis dan politik. Ekonomi dan politik, dalam perspektif ini, tidak dilihat sebagai entitas yang dikotomis. Hal ini bertumpu pada hipotesis bahwa kebijakan industri (industrial policy), baik implisit dan eksplisit, berkaitan dengan political interest.
Setidaknya kepentingan ekonomi politik yang berkelindan di industri mineral dan logam tercermin pada peristiwa yang mengemuka melalui sanksi Inggris dan Amerika yang secara tegas melarang London Metal Exchange (LME) dan Chicago Mercantile Exchange (CME) untuk tidak menerima aluminium, nikel dan tembaga produksi asal Rusia.
Kendati Rusia bukan satu-satunya negara yang mengalami insiden seperti ini, namun gejala ‘trade war’ yang dianggap sejumlah kalangan sebagai fenomena lazim merupakan ekses yang dihasilkan dari kian mengkristalnya persaingan yang bersifat geoekonomi dan geopolitik. Sanksi menjadi manifestasi political interest di balik kebijakan industri.
Di tengah kontestasi negara-negara besar - Amerika, Eropa, Rusia, Tiongkok - dalam rantai pasok di kancah global. Muncul pertanyaan apakah ini bersifat ekonomi semata? Dimanakah posisi dan peran Indonesia dalam dinamika ini? Apakah sanksi ini potensial menyeret industri mineral menuju force majeure, atau sebaliknya: meretas prospek ekonomi yang profitable untuk Indonesia?
Dinamika Geopolitik Baru
Berakhirnya masa perang dingin menandai baru bagi perkembangan sejarah. Robert Kuttner (2022) menerangkan bila periode ini ditandai dengan premis perdagangan lintas batas (cross-border trade) dan pergerakan modal mestilah bebas dari kendala. Kendati premis ini mewujud dalam realitas kontemporer, tapi adanya krisis yang berulang, justru membawa konsekuensi.
Tidak sedikit negara yang kembali menimbang akan arti pentingnya proteksi bagi kebijakan nasionalnya. Mekanisme pasar yang diyakini bekerja di bawah prinsip-prinsip free market, faktanya, terbentur dengan intensi negara untuk terlibat pada urusan ekonomi. Bahkan Amerika dan UE kini menggeser fokus pengamanan bahan ke dalam perspektif geopolitik.
Pergeseran ini berangkat dari political interest meminimalisir ketergantungan pada mitra yang dinilai rentan memicu risiko. Keputusan Rusia menghentikan pasokan gas ke Eropa, di tengah konflik Rusia-Ukraina, telah membuat negara seperti Jerman menanggung kerugian. Kondisi ini membuat Amerika dan UE mulai memutus ketergantungan impor mineral dan logam.
Dalam konteks rantai pasok mineral, Tiongkok menjelma sebagai episentrum peleburan dan pemurnian global (Mazarei & Leruth, 2022). Sedangkan Rusia tegas menunjukkan keinginan memperkuat posisi sebagai kekuatan di sektor pertambangan mineral lantaran cadangannya mewakili sekitar 14% produksi mineral global (Bazhin, et.all., 2017).
Artinya, jatuhnya sanksi terhadap logam Rusia secara implisit merefleksikan upaya strategis dalam mereorganisasi industri dalam negeri Amerika-Inggris, namun di saat yang sama langkah tersebut menegaskan realisme politik yang paradoks. Ada dua pendekatan yang bisa dijadikan pijakan dalam memahami persoalan ini.
Pertama, perspektif ideologis-politis. Kalau dilihat dari aspek ini, persaingan geopolitik yang mengkristal antara Tiongkok, Rusia, AS dan UE tidak sekedar merefleksikan relasi kemitraan, melainkan lebih dari itu mewakili kutub yang berbeda. Rusia dan Tiongkok cenderung dekat ke kutub kapitalisme negara, sementara AS dan UE lebih pada kapitalisme free-market.
Sederhananya, negara yang percaya dengan free-market lebih menganjurkan peranan minimal negara di dalam mekanisme pasar. Motif ekonomi lebih jauh determinatif daripada motif politik. Sebaliknya, dalam state-capitalism negara tampil sebagai aktor dengan peranan yang determinan. Dalam perspektif ini, motif politik lebih dominan ketimbang ekonomi.
Melalui keterangan Duta Besar Rusia, Anatoly Antonov, menilai bahwa sanksi terhadap logam Rusia bersifat politis. Tanggapan ini tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Sebagai sektor yang terkait erat dengan future energi, mineral dan logam menempati posisi sentral dalam trend pasar dan geopolitik (Campbell, et.al., 2023).
Kedua, perspektif geopolitik. Perubahan lanskap geopolitik akibat munculnya wabah Covid-19 dan konflik Rusia dan Ukraina membuat konsep strategis, seperti ‘reshoring’, ‘nearshoring’ dan ‘friendshoring’ menjadi relevan bagi para pelaku bisnis di Amerika dan UE. Konsep ini memiliki hubungan erat dengan kepentingan penguatan industri nasional dan rantai pasok.
Secara definitif, reshoring dimaknai sebagai proses pengalihdayaan operasi ke dalam negeri atau mengembalikan proses produksi ke dalam negeri dan/atau wilayah terdekat. Sementara nearshoring merujuk kepada relokasi produksi ke wilayah yang lebih dekat, sebagaimana perusahaan Amerika saat merelokasi operasi mereka dari Tiongkok ke Meksiko (Müller, 2023).
Pada masa pemerintahan Barack Obama dan Donald Trump, konsep tersebut telah diterapkan sebagai respon atas meningkatnya peranan Tiongkok dalam rantai pasok. Tujuan utama penerapan strategi ‘reshoring’ dan ‘nearshoring’ adalah merelokasi perusahaan Amerika ke dalam negeri guna memperkokoh beban industri dalam ekonomi nasional serta berkontribusi atas penciptaan lapangan pekerjaan.
Berbeda dari konsep sebelumnya, paradigma friendshoring yang diintrodusir Amerika, pada 2022 lalu, merupakan respon atas pecahnya konflik Rusia dan Ukraina. Konsep ini mengacu pada pengembangan relasi ekonomi dengan jaringan pemasok terpercaya dari negara-negara sahabat yang menawarkan berbagai jalur pasok independen.
Jadi secara substansial konsep friendshoring hendak menyatukan aspek kerja sama ekonomi dengan perluasan relasi politik dengan negara yang memiliki norma dan nilai yang sama (Eggers, et.all., 2022). Hal ini menandakan seleksi strategis terhadap mitra-mitra yang rentan menciptakan resiko. Penghentian pasokan gas Rusia ke sejumlah negara di Eropa adalah contohnya.
Tendensi itu diterangkan Günther Maihold (2022) sebagai gejala geopolitik baru (new geopolitics) di dalam rantai pasokan. Pelaku ekonomi dan bisnis didesak tidak hanya responsif pada faktor ekonomi, tetapi harus memberi perhatian besar pula pada tujuan politik atau geopolitik. Sulit dinafikkan jika dinamika dalam industri mineral dan logam hanya bersifat geoekonomi tanpa didasarkan kepentingan geopolitik!
Posisi Indonesia
Struktur supply chains umumnya dibagi ke sejumlah tahap, dimana ekstraksi merupakan tahap pertama. Selain itu terdapat tahap pemurnian, dimana biji diproses jadi mineral sehingga dapat digunakan secara industri, dan tahapan pembuatan produk (komoditas) serta tahap daur ulang (Müller et.al., 2023). Negara-negara Afrika, kendati mempunyai cadangan mineral yang signifikan, namun kapasitasnya masih sebatas tahap ekstraksi.
Hal serupa juga terjadi pada perusahaan di Eropa yang kapasitasnya masih sebatas tahap ketiga di dalam struktur teknis rantai pasok mineral (European Commission, 2023). Oleh karena itu tingkat ketergantungan mereka terhadap impor mineral dan logam masih tinggi. Negara yang saat ini menjadi aktor terpenting dalam rantai pasok mineral hanya Tiongkok.
Dengan adanya sanksi logam Rusia, maka secara politik posisi Tiongkok tidak hanya diperkuat selaku pembeli utama, melainkan secara ekonomi Tiongkok berpotensi memainkan peran krusial dalam menetapkan harga bahan-bahan penting perekonomian global. Bagaimanapun juga, sanksi tersebut membuat Shanghai Futures Exchange menjadi satu-satunya bursa komoditas utama di dunia yang menerima logam dari Rusia.
Perubahan geopolitik akhirnya meretas prospek bagi negara-negara penghasil mineral, tidak terkecuali Indonesia, guna mengatasi ketergantungannya atas ekspor bahan mentah serta momentum dalam mendorong penciptaan nilai tambah bagi industri nasional. Gagasan hilirisasi yang menggema sejak masa SBY dan dikerjakan secara serius oleh Presiden Jokowi merupakan langkah logis dalam menjawab prospek tersebut.
Tentu posisi dan peranan Indonesia di tengah perubahan lanskap geopolitik tidak sama seperti posisi Rusia maupun Tiongkok. Konsistensi pada prinsip politik bebas aktif (free and active politics) membuat Indonesia lebih fleksibel karena sudah pasti tidak memiliki barrier terhadap blok-blok politik negara manapun.
Karena itu Indonesia harus dapat memanfaatkan kebangkitan geopolitik baru dalam rantai pasok mineral dan kontestasi antar negara-negara besar dengan mengubah sektor ekstraktif nasional ke arah yang lebih profitabel baik secara ekonomi maupun bisnis, termasuk politik, serta menciptakan nilai tambah di sektor pertambangan mineral dan logam.*
Penulis:
Riyanda Barmawi_ Direktur Eksekutif Anatomi Pertambangan Indonesia (API)
Editor:
(s/NI)