Penulis, Pankrasius Alkiyam Kolaret (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-Beberapa hari terakhir beredar video di media sosial mengenai kasus pembubaran mahasiswa yang sedang berdoa Rosario di Serpong Tangerang Selatan. Beberapa mahasiswa dipukul dan bahkan dibacok oleh warga setempat. Situasi pun memanas di tempat kejadian.
Menanggapi kejadian di atas begitu banyak orang yang geram dan melakukan aksi terbuka dengan tujuan agar pelaku segera ditangkap dan diproses berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Beredar beragam komentar mengenai kejadian ini juga.di media sosial tentunya.
Pembubaran tersebut menurut saya merupakan suatu sikap Intoleransi. Hal seperti ini seharusnya menjadi perhatian yang lebih serius dari berbagai pihak. Tentunya kita semua perlu belajar dari pengalaman seperti ini. Ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi kita semua, bukan saja pelaku dan korban, tetapi seluruh warga Indonesia.
Meneropong dari sudut pandang Indonesia sebagai negara kesatuan yang bersemboyankan "Bhineka Tunggal Ika" kita perlu memahami perbedaan sebagai keberagaman yang memperkuat Indonesia. Tidak pantas ketika kita menjadi beda dan saling menyakiti dan menjadikan perbedaan itu sebagai senja untuk saling menyerang. Apapun perbedaan kita itu tidak waras sebagai suatu perbedaan yang bernuansa mencelakakan.
Meneropong dari sudut pandang agama juga kita hadir dan menjadi umat beragama sebagai umat yang memegang teguh cinta kasih, umat yang membagi kebaikan. Sangat tidak mencerminkan sikap umat beragama apabila kita saling menyerang satu sama lain, walaupun sesungguhnya kita sebagai makhluk ciptaan tidak pernah luput dari kesalahan.
Beranjak dari itu semua pada dasarnya sudah sangat jelas dalam tatanan kehidupan negara kita,dimana kita harus menjadi manusia yang beradab. Beradab dalam hal ini dapat dipahami sebagai sikap yang menjunjung tinggi nilai kesatuan. Begitu banyak hal yang dapat kita lakukan untuk mencapai kesatuan itu. Selain komunikasi lintas agama juga toleransi.
Saya menawarkan suatu hal sebagai upaya preventif dalam hal ini yaitu komunikasi lintas agama. Kita sebagai umat beragama perlu memahami satu sama lain, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi dan rapat dalam mengambil keputusan maupun bertindak. Kita perlu memahami perbedaan sebagai keberagaman yang memperkuat dan mempertahankan kebhinekaan kita.
Komunikasi Lintas Agama tentunya akan mencapai titik tertinggi dalam wujud nyatanya yaitu toleransi antar umat beragama. Sebagai umat beragama agan menjadi rukun dan damai apabila toleransi tercipta. Dalam hal ini toleransi perlu dipahami sebagai landasan fundamental dalam sosialisasi antar umat beragama. Dalam hal ini saya lebih melihat adanya sikap Intoleransi yang seharusnya tidak terjadi.
Tatanan kehidupan masyarakat Indonesia akan menjadi lebih harmoni dengan adanya komunikasi yang baik dalam mencapai keserasian dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat harus paham dalam mendesain tata hidup yang sehat dalam perbedaan itu sendiri. Komunikasi yang dibangun dalam hal ini harus lebih intens agar titik terang memahami perbedaan lebih nampak.
Hal ini perlu disikapi secara serius agar hal seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. Manajemen komunikasi antar umat seharusnya menjadi lebih matang dan mendalam. Kita sudah seharusnya hidup dalam suatu rumpun bangsa yang merdeka, tentram dan damai. Kita sudah seharusnya hidup dalam terang perbedaan yang mendasar menjadi senjata kesatuan. Kita setidaknya sudah paham bagaimana membidik sudut terbaik sebuah perbedaan.
Sudah seharusnya intimidasi dalam berdoa tidak ada. Kita semua memiliki satu tujuan akhir. Doa adalah juga bentuk komunikasi paling dalam dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu intimidasi atau larangan berdoa tidak baik adanya. Apalagi kita sesama di bangsa ini yang saling mengintimidasi satu sama lain. Kejadian seperti ini semoga menjadi bahan pembelajaran kita kedepannya. Semoga kita menjadi lebih rukun dan damai dalam keseharian kita di hari-hari mendatang. Tetap saling jaga komunikasi kita agar toleransi antar kita tetap hidup.*
Penulis:
Pankrasius Alkiyam Kolaret Mahasiswa Universitas Islam Malang
Editor:
(m/NI)