![]() |
Narasi Indonesia.com, YOGYAKARTA-Permendikbud No 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kemendikbud yang ditetapkan oleh Mendikbud Ristek RI, Nadiem Anwar Makarim, pada 19 Januari 2024, telah memicu kontroversi luas. Regulasi ini, yang terdiri dari 18 halaman dengan 34 pasal, telah mengakibatkan lonjakan biaya kuliah di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN). Kritikan tajam pun mengalir kepada Nadiem Anwar Makarim atas kebrutalan dalam pengambilan keputusan ini.
Kemarahan publik semakin memuncak setelah pernyataan dari Prof. Tjitjik Tjahjandarie, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, yang menyebut pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier. Pernyataan ini seolah meremehkan pentingnya pendidikan tinggi, yang seharusnya diakui sebagai salah satu jalan utama untuk mencapai kemajuan bangsa.
Tjitjik berargumen bahwa tidak semua lulusan SMA, SMK, dan madrasah aliyah harus melanjutkan studi ke perguruan tinggi karena hal ini bersifat pilihan. Namun, pernyataan ini mengabaikan fakta bahwa pendidikan tinggi adalah kunci untuk menciptakan tenaga kerja yang berkualitas dan inovatif, yang sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan global dan mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Nadiem Anwar Makarim juga membuat pernyataan yang kontroversial saat dipanggil oleh Komisi X DPR RI, dengan mengatakan bahwa kenaikan biaya kuliah tidak akan berlaku bagi mahasiswa lama, tetapi hanya untuk mahasiswa baru. Pernyataan ini menunjukkan ketidakpekaan terhadap beban finansial yang harus ditanggung oleh calon mahasiswa dan keluarganya. Pemerintah seharusnya memenuhi hak pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia, bukan malah mempersulit akses terhadap pendidikan tinggi.
Secara normatif, memang wajib belajar hanya sampai tingkat sekolah menengah, tetapi ini adalah batas minimal pemenuhan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah seharusnya menyambut dengan gembira tingginya minat masyarakat terhadap pendidikan tinggi, dan tidak malah menghalangi dengan kebijakan yang memberatkan. Pendidikan tinggi bukan hanya tentang pilihan individu, tetapi juga tentang investasi negara dalam sumber daya manusianya.
Menempatkan kuliah sebagai kebutuhan tersier adalah kesalahan besar dan penghinaan terhadap semangat dan potensi setiap anak bangsa yang berkuliah. Pernyataan brutal dari Nadiem Anwar Makarim sangat disayangkan karena bisa melukai perasaan masyarakat dan mengecilkan mimpi anak bangsa untuk melanjutkan pendidikan. Sebagai anak muda yang sadar akan pentingnya pendidikan, saya merasa sangat kecewa dengan kebijakan dan pernyataan petinggi Kemendikbud Ristek.
Pada tahun 2045, Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya. Bonus demografi yang diharapkan pada tahun tersebut hanya akan menjadi angan-angan kosong jika populasi yang mendominasi tidak memiliki kualitas dan potensi yang mumpuni. Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, kita memerlukan sistem pendidikan yang baik, adil, dan setara. Pembangunan sumber daya manusia yang potensial dan berkualitas harus menjadi prioritas utama, dan pendidikan adalah kunci utama untuk mewujudkannya.
Kehadiran Nadiem Anwar Makarim di Kemendikbud Ristek bak serigala yang sedang memburu mangsa. Sebagai Menteri, seharusnya dia mempertimbangkan dengan lebih hati-hati setiap keputusan yang diambil, dengan memperhatikan kebutuhan warga negara. Pendidikan harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang ingin berpendidikan, dan negara harus menyesuaikan kebijakannya dengan prinsip hidup dan kebutuhan masyarakat.
Pemerintah seharusnya tidak takut dengan mafia di sektor pendidikan, tetapi seharusnya berdiri teguh melawan mereka demi kepentingan rakyat. Pernyataan yang tidak memikirkan hati rakyat dan kebijakan yang memberatkan hanya menunjukkan kebrutalan dan ketidakpekaan pemerintah. Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan harus diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Pemerintah harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua, demi masa depan yang lebih baik bagi bangsa.*
Penulis:
Muhammad Fauzi (Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan HMI Cabang Yogyakarta)
Editor:
(m/NI)