![]() |
Penulis, Syairah Sabrina Putri Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-Pembagian
Korea menjadi dua negara pada akhir Perang Dunia II menciptakan dasar bagi
konflik yang berlarut-larut hingga hari ini. Perang Korea (1950-1953) yang
berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai, meninggalkan
Semenanjung Korea dalam keadaan perang secara teknis. Zona Demiliterisasi (DMZ)
yang membentang di antara Korea Utara dan Korea Selatan merupakan salah satu
perbatasan paling termiliterisasi di dunia, menjadi simbol ketegangan yang
masih ada.
Ambisi
nuklir Korea Utara telah memperburuk ketegangan ini. Sejak uji coba nuklir
pertamanya pada tahun 2006, Korea Utara terus mengembangkan kemampuan nuklir
dan misilnya, meskipun ada sanksi internasional dan upaya diplomatik untuk
membatasi program tersebut. Ini menciptakan dilema keamanan tidak hanya bagi
Korea Selatan, tetapi juga bagi negara-negara tetangga dan komunitas
internasional yang lebih luas.
Upaya
Diplomatik dan Batasannya
Selama
bertahun-tahun, telah ada berbagai inisiatif diplomatik yang bertujuan untuk
denuklirisasi dan perdamaian. Pembicaraan Enam Pihak, yang melibatkan Korea
Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, China, Jepang, dan Rusia, adalah salah
satu upaya signifikan tetapi akhirnya terhenti pada tahun 2009. Pertemuan
puncak yang lebih baru antara pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden
Amerika Serikat Donald Trump pada 2018 dan 2019, meskipun bersejarah, gagal
menghasilkan kesepakatan substansial tentang denuklirisasi.
Upaya
diplomatik ini menyoroti masalah krusial kesenjangan antara dialog dan tindakan
nyata. Sementara pertemuan tingkat tinggi dapat mengurangi ketegangan sementara
dan membuka saluran komunikasi, mereka seringkali tidak mencapai solusi jangka
panjang. Ini sebagian disebabkan oleh prioritas dan kepentingan strategis yang
berbeda dari pihak-pihak yang terlibat. Misalnya, Korea Utara mencari jaminan
keamanan dan bantuan ekonomi, sementara Amerika Serikat dan sekutunya menuntut
denuklirisasi sepenuhnya.
Peran China dan Dinamika Regional
Peran
China dalam Semenanjung Korea sangat penting. Sebagai mitra dagang terbesar dan
sekutu terdekat Korea Utara, China memiliki pengaruh signifikan terhadap
Pyongyang. Kepentingan utama Beijing adalah menjaga stabilitas regional dan
mencegah keruntuhan mendadak rezim Korea Utara, yang dapat menyebabkan krisis
pengungsi dan berpotensi membawa pasukan militer AS lebih dekat ke
perbatasannya.
Namun,
kepentingan strategis China tidak selalu selaras dengan kepentingan Amerika
Serikat dan sekutunya. Sementara China mendukung denuklirisasi secara prinsip,
ia juga waspada terhadap tindakan yang dapat mendestabilisasi DPRK.
Keseimbangan yang halus ini seringkali menghasilkan pendekatan hati-hati yang
memprioritaskan stabilitas daripada langkah agresif untuk denuklirisasi Korea
Utara.
Menuju Tindakan Konkret: Strategi Multi-pronged
Untuk
menavigasi tantangan keamanan yang kompleks di Semenanjung Korea, diperlukan
strategi multi-pronged yang melampaui dialog. Strategi ini harus
mencakup elemen-elemen berikut:
Pertama,
dengan keterlibatan diplomatik yang berkelanjutan meskipun tidak ada terobosan
langsung, menjadi sangat penting. Membangun saluran komunikasi reguler dapat
membantu mengelola krisis, membangun kepercayaan, dan menciptakan kerangka
kerja untuk kesepakatan di masa depan. Forum multilateral, termasuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan regional seperti ASEAN, dapat memainkan
peran pendukung dalam memfasilitasi dialog.
Kedua,
langkah-langkah inkremental menuju denuklirisasi alih-alih menuntut
denuklirisasi penuh secara langsung, pendekatan bertahap mungkin memberikan
hasil yang lebih baik. Ini bisa melibatkan pembekuan aktivitas nuklir,
pembongkaran fasilitas tertentu, dan memungkinkan inspeksi internasional
sebagai imbalan atas pengurangan sanksi secara bertahap dan jaminan keamanan.
Langkah-langkah inkremental semacam itu dapat membangun momentum dan
menciptakan jalur menuju denuklirisasi penuh.
Ketiga,
integrasi ekonomi dan pembangunan insentif ekonomi dapat menjadi alat yang kuat
untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas. Inisiatif untuk mengintegrasikan
Korea Utara ke dalam ekonomi regional, seperti zona ekonomi khusus dan proyek
pengembangan bersama, dapat memberikan manfaat nyata bagi DPRK. Upaya ini harus
disertai dengan langkah-langkah untuk memperbaiki situasi kemanusiaan di Korea
Utara, mengatasi masalah seperti ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat.
Keempat,
peningkatan penangkalan militer dan kerjasama pertahanan sambil mengejar jalur
diplomatik dan ekonomi, menjaga penangkalan militer yang kuat adalah penting
untuk mengatasi potensi agresi dari Korea Utara. Memperkuat kerjasama
pertahanan antara Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang dapat meningkatkan
keamanan regional. Sistem pertahanan misil yang canggih dan latihan militer
bersama dapat berfungsi sebagai penangkal terhadap provokasi Korea Utara.
Selanjutnya,
hak asasi manusia dan penyebaran informasi di Korea Utara harus menjadi bagian
dari strategi yang lebih luas. Mempromosikan aliran informasi ke dalam DPRK
melalui berbagai cara, termasuk penyiaran dan media digital, dapat
memberdayakan warga Korea Utara dan secara bertahap mempengaruhi perubahan dari
dalam. Isu-isu hak asasi manusia harus diintegrasikan ke dalam diskusi
diplomatik tanpa mengabaikan tujuan utama denuklirisasi.
Terakhir,
memanfaatkan teknologi dan keamanan siber adalah front yang muncul dalam
dinamika keamanan di Semenanjung Korea. Korea Utara telah mengembangkan
kemampuan siber yang signifikan, menggunakannya untuk spionase, pencurian, dan
gangguan. Meningkatkan kerjasama keamanan siber di antara sekutu regional dan
mengembangkan strategi siber ofensif dan defensif sangat penting untuk
mengatasi ancaman siber dari Korea Utara.
Peran Kekuatan Global dan Organisasi
Internasional
Keterlibatan
kekuatan global dan organisasi internasional sangat penting dalam mendukung
upaya mencapai perdamaian abadi di Semenanjung Korea. Dewan Keamanan PBB (UNSC)
telah memainkan peran kunci dalam menerapkan sanksi terhadap Korea Utara,
tetapi juga harus aktif dalam memfasilitasi solusi diplomatik. Resolusi yang
menyeimbangkan tekanan dengan insentif bisa lebih efektif dalam membawa Korea
Utara ke meja perundingan.
Uni
Eropa dan aktor global lainnya juga dapat berkontribusi dengan menyediakan
keahlian dalam resolusi konflik, pembangunan ekonomi, dan advokasi hak asasi
manusia. Keterlibatan mereka dapat membantu mendiversifikasi upaya diplomatik
dan membawa perspektif serta sumber daya tambahan ke meja perundingan.
Jalan
menuju perdamaian dan keamanan yang abadi di Semenanjung Korea membutuhkan
keseimbangan antara realisme dan idealisme. Secara realistis, denuklirisasi
penuh dan segera mungkin tidak dapat dicapai dalam jangka pendek. Namun,
menetapkan tujuan instrumental yang realistis dapat menciptakan dasar untuk
kesuksesan jangka panjang. Secara ideal, visi Semenanjung Korea yang
denuklirisasi, damai, dan sejahtera harus tetap menjadi tujuan utama.
Menyeimbangkan
perspektif ini melibatkan pengakuan terhadap kekhawatiran keamanan yang sah
dari semua pihak, termasuk Korea Utara, sambil terus bekerja keras untuk
mengurangi ancaman nuklir. Ini juga berarti fleksibel dan adaptif dalam
pendekatan diplomatik, siap untuk memanfaatkan peluang kemajuan ketika muncul.
Menavigasi
tantangan keamanan di Semenanjung Korea dari dialog ke aksi nyata membutuhkan
upaya komprehensif dan berkelanjutan. Ini mencakup tidak hanya keterlibatan
diplomatik tingkat tinggi tetapi juga langkah-langkah praktis yang mengatasi
akar permasalahan konflik dan membangun kepercayaan di antara pihak-pihak yang
terlibat. Insentif ekonomi, penangkalan militer yang kuat, advokasi hak asasi
manusia, dan langkah-langkah keamanan siber semuanya memainkan peran penting
dalam strategi multi-pronged ini.
Keterlibatan
kekuatan regional dan global, bersama dengan organisasi internasional, sangat
penting untuk mendukung upaya ini. Dengan mengadopsi pendekatan yang pragmatis
namun ambisius, komunitas internasional dapat membuat langkah berarti menuju
Semenanjung Korea yang denuklirisasi dan damai. Meskipun perjalanannya penuh
tantangan, pencarian perdamaian dan stabilitas di kawasan ini.*
Penulis:
Syairah Sabrina Putri (Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang)
Editor:
(m/NI)