Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pancasila Sebagai Roh Pemersatu Bangsa

Kamis, 11 Juli 2024 | Juli 11, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-07-11T13:44:10Z


Narasi Indonesia.com, Jakarta - Hasil survei lembaga Setara Institute (Mei 2023) sungguh mengejutkan. Hal-ihwal itu menunjukkan jumlah pelajar intoleran aktif yang bersekolah jenjang SMA dan sederajat di lima kota Indonesia seperti Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, Padang yang disurvei mengalami peningkatan.

 

Survei Setara Institute tersebut memotret 51,8 persen pelajar menganggap negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia merupakan ancaman terhadap agama dan budaya Indonesia. Sebanyak 83,3 persen menilai Pancasila bukan ideologi negara yang bersifat permanen, dan dapat diganti. Sekitar 33 persen pelajar setuju untuk membela agama, termasuk harus mati dalam membela agama.

 

Secara garis besar, intoleransi merupakan produk dari proses membangsa yang belum selesai. Relasi antanogistik antara negara dengan agama masih mengandung bahaya laten. Apalagi agenda kepentingan politik parsial dan sektarian bermain memperkeruh situasi. Alhasil, masa depan bangsa dipertaruhkan. Umat Islam Indonesia yang dikenal moderat punya obligasi moral untuk memayungi semua anak-anak bangsa.

 

Ketika ketegangan antara agama vis a vis negara, politisasi isu SARA berkecamuk, kekerasan atas nama agama dan nasionalisme sempit mengemuka, chauvinisme berlebihan beranak-pinak, dan provokasi memenuhi ruang publik, sudah saatnya komitmen keislaman dan kebangsaan ditajamkan kembali. Merajut keindonesiaan kita mesti ditekankan secara terus menerus.

 

Para kader dan alumni HMI mesti meneruskan perjuangan dalam lanskap pembaharuan untuk mengokohkan bangunan kebangsaan berlandaskan nilai-nilai Islam substantif. Kesenjangan antar golongan dapat dijembatani atas dasar saling pengertian. Warisan Cak Nur berupa keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan akan selalu relevan dalam menyikapi kondisi bangsa dan negara belakangan ini. Intinya menghargai kebinekaan sebagai sunnatullah.

 

Kita bisa ber-Islam sekaligus ber-Indonesia, dan nasionalisme bisa bersenyawa dengan agama. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai religius adalah sesuatu yang inheren dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tapi tidak harus terjebak dalam formalisasi dalam bentuk negara agama. Ungkapan para ulama bahwa mencintai tanah air sebagai bagian dari panggilan iman adalah pesan moral yang fundamental.


Dengan demikian, antara nasionalisme dengan Islam tidak saling menegasikan, justru relasional. Universalitas nilai seperti keadilan, kasih, kejujuran dan kemajuan serta kesetaraan adalah hal-hal substantif yang perlu diperjuangkan agar tegak di bumi pertiwi. Sebagai negara yang didirikan atas imaji besar kaum pemuda, maka wajib kita rawat.

 

Agama kita letakkan sebagai sumber energi, sumber inspirasi dan sumber motivasi untuk menegakkan eksistensi negara. Tonggak pergolakan kebangsaan yang monumental adalah saat pemuda menemukan Pancasila sebagai dasar negara sekaligus falsafah negara yang mengakomodasi semua kelompok agama, ras, etnis, dan sebagainya.

 

Pancasila adalah hasil dari kristalisasi keringat, darah dan air mata para pendiri bangsa. Artinya, mempertahankan Pancasila adalah tugas mulia. Tidak boleh sedikit pun membuka ruang bagi siapa saja atau kelompok mana saja yang ingin merongrong Pancasila. Dalam konteks ini, HMI memikul dua tugas besar dan tujuan sakral. Pertama, mempertahankan kemerdekaan dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia. Kedua, Mengembangkan dan menyebarluaskan ajaran Islam. Dua misi mulia itu termuat dalam HMI yang mengedepankan komitmen keislaman dan kebangsaan.

 

Akan tetapi, ada semacam ketidakseimbangan yang melanda HMI. Munculnya pikiran sektarian yang berlebihan di sebagian oknum kader, kerap membonsai HMI. Padahal NDP yang menegaskan komitmen keislaman dan kebangsaan mesti mendarah-daging bagi setiap anak-anak Himpunan.

 

Organisasi Hijau-Hitam yang didirikan dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia, tentu tergolong tua, karena memang organisasi mahasiswa terbesar sekaligus tertua. Apakah HMI akan tetap bertahan, mentok atau malah lincah berselancar di tengah terjangan gelombang globalisasi?

 

Di tengah cuaca kultural yang panas akibat polarisasi politik, HMI berperan penting untuk merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di tengah tren globalisasi yang penuh gonjang-ganjing, maka HMI berperan strategis untuk menjadi benteng di ranah mahasiswa, pemuda dan civil society (masyarakat sipil), termasuk dalam hal ini Korps Alumni HMI (KAHMI) yang menjadi entitas berpengaruh di negeri ini.

 

Sebagai organisasi besar, HMI memiliki modal berupa ratusan cabang dan puluhan badan koordinasi (Badko) yang terdapat di seluruh pelosok tanah air Indonesia. Belum lagi/ lembaga profesi yang terdiri dari berbagai bidang dan fokus. Dengan begitu, kader Insan Cita bisa melakukan signifikansi peranan untuk membangun masyarakat, mewarnai kanvas peradaban, yang bermuara pada terwujudnya masyarakat adil makmur sebagaimana poin ke-lima dari lima kualitas insan cita HMI di pasal 4 AD HMI.

 

Gejala intoleran, rasisme, ekstremisme, separatisme, korupsi, narkoba hingga terorisme adalah musuh bangsa. Tanggung jawab negara dan amanah bagi semua anak-anak bangsa untuk membentengi diri dari ancaman internal maupun eksternal. Negara harus menindak tegas siapa pun dan atas nama apa pun yang mengancam keutuhan NKRI. Disinilah HMI meletakkan posisi sebagai agen pencerahan sosialisasi nilai-nilai kebangsaan.

 

Kehadiran Sarekat Islam 1905, Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, sampai Proklamasi Kemerdekaan 1945 adalah benih-benih yang menjadi tonggak berdirinya Indonesia yang beragam. Bung Karno dalam sebuah pidatonya mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik suatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Bangsa adalah satu jiwa (une nation est un âme). Satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar (une nation est un grand solidarité).

 

Kebhinekaan adalah realitas yang faktual. Keberagaman dan kemajemukan adalah modal berharga bagi pengayaan khazanah berbangsa. Dalam praktik bernegara, Pancasila sebagai landasan Ideal, dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional menjadi bintang pemandu dan terbukti ampuh untuk mengatasi setiap turbulensi.

 

HMI wajib memainkan peranan dalam mempertahankan pilar bangsa, menjamin tegaknya nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. Ancaman terhadap pilar-pilar kebangsaan itu tak boleh diabaikan, apalagi dipandang enteng. Kita memiliki obligasi moral untuk melawan para pengacau negeri. Saat bersamaan, kita pastikan agar negara hadir untuk melayani warga tanpa diskriminasi.

 

Bung Karno, dalam pidato di hadapan Sidang BPUPKI 1 Juni 1945 mengungkap bahwa mendirikan sebuah negara-bangsa bernama “Indonesia” adalah “…mendirikan satu Nationale staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian…”. Mari bergandeng tangan untuk Indonesia yang terus maju, berkelanjutan dan disegani dalam pergaulan internasional.*


Penulis:

Imaduddin Hamid (Alumni Magister Administrasi Negara UI Kandidat Ketua Umum Badko Jabodetabeka-Banten)

 

Editor:

(m/NI)

×
Berita Terbaru Update