Narasi Indonesia.com, Jakarta - Genap diusia 79 tahun Indonesia
merdeka, Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir dalam mengawal demokrasi,
seolah memberikan angin segar bagi perpolitikan bangsa, untuk tegas dan lugas
dalam menjaga benteng konstitusi yaitu dengan menolak permohonan perkara Nomor
70/PUU-XXII/2024 terutama mengenai ketentuan persyaratan batas usia calon
kepala daerah, pasalnya Indonesia kembali menghadapi momentum pilkada serentak
yang harus di jaga kedaulatan demokrasinya. Mahkamah konstitusi sedang
memperbaiki institusi dan berusaha kembali ke fitrahnya sebagai lembaga
Yudikatif yang profesional.
MK merupakan satu-satunya institusi
negara dalam bingkai Trias Politika yang berkewenangan memberikan tafsir
tunggal konstitusional undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sesuai dengan
tugas dan wewenangnya yang sah. Untuk itu semua pihak harus menghargai serta
tunduk dan patuh terhadap apa yg sudah menjadi keputusan MK, karena putusan MK
bersifat Final And Binding.
Hal yang ironis justru terjadi,
bentuk pengangkangan demokrasi lahir dari wakil rakyat yang haus jabatan dan
arogansi. Sehari setelah putusan MK, Baleg DPR sebagai lembaga legislatif
mencoba menganulir putusan MK dengan menggelar rapat bersama DPD dan Pemerintah
guna membahas RUU pilkada yang dalam hal ini merujuk pada putusan Mahkamah
Agung No. 23 P/HUM/2024. Langkah-langkah legislatif yang ingin dan seolah tidak
mematuhi putusan MK tersebut jelas bisa di katakan sebagai pengangkangan
Demokrasi. Hal ini memicu kerancuan sistem Trias Politika dan membuat
pertentangan antar lembaga negara, hal ini membuat roda demokrasi seolah harus
melawan arah kodratnya.
Apabila misalkan DPR mengesahkan RUU
pilkada tersebut, Maka bisa langsung di uji kembali ke MK dan bisa di pastikan
akan di batalkan kembali oleh MK. Tentu ini akan sangat berdampak buruk
terhadap kepastian hukum tentang perhelatan pilkada 2024. Terjadinya perlawanan publik yang dangat luas, Demokrasi
di bajak di Kangkangi secara terang terangan dan secara nyata tanpa malu di
lakukan lembaga negara yang mengaku sebagai wakil rakyat. Bahkan lebih jauh
dari itu terjadinya kericuhan akibat perlawanan sipil akan semakin meluas, atau
bahkan berpotensi terjadinya pemboikotan terhadap penyelenggaran pilkada
serentak dan tentu ketidakpercayaan publik terhadap proses pilkada akan
terulang seperti pemilu sebelumnya.
Aksi di berbagai daerah terus meluas
dan merebak sampai ke pelosok-pelosok kabupaten dan kota di seluruh negeri, hal
ini tidak lain karena ekspresi kemarahan sipil akibat penjarahan konstitusi di
siang bolong, Demokrasi dijalankan seenaknya sendiri. sehingga Berbagai elemen
sipil pun Bersatu padu, gelombang buruh, pelajar, seniman, komedian, artis
sampai pada anak-anak remaja berusaha mengekspresikan suara dan gagasannya guna
menolak pengangkangan demokrasi. Simbol garuda dengan bagkround biru di iringi
suara sirine meraung raung di sosial media sebagai tanda bahaya, Indonesia sedang
terancam, Demokrasi sedang di begal.
Mahasiswa dan kaum cendekiawan terus
menjadi ujung tombak gagasan dan parlemen jalanan, menjadi agen terdepan
menyuarakan kebenaran. Namun inilah negeriku, Kamis Bernanah Jumat Berdarah,
aksi parlemen jalanan di warnai aksi represif oleh aparat negara. Darah,
penangkapan, air mata menjadi hal yang berserakan untuk dipertontonkan di
jalanan, Polisi bukan lagi menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, namun
seolah menjadi pelindung kekuasaan dan menjadi alat keamanan pembegal
demokrasi.
Apakah ini gambaran presisi yang
selama ini digaungkan oleh Kapolri?
Atas dasar inilah patut kiranya
publik mengutuk keras atas tindakan represif yg dilakukan oleh aparat kepada
mahasiswa tersebut. Teruntuk kapolri sudah sepatutnya menindak tegas anggota
kepolisian yang tidak mengedepankan prinsip “melindungi dan mengayomi”
sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang dasar 1945 yakni dalam
perumusannya mencerminkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
Olehnya Polri harus bersikap
Profesional dan cepat dalam mengusut peristiwa ini agar tidak berlarut dan ini
dapat menjadikan preseden buruk untuk citra polri sebagai pengayom masyarakat.
Karena sejatinya Polri itu lahir dari rahim masyarakat sipil.*
Penulis:
Yudi Prasetyo
Editor:
(m/NI)