Narasi Indonesia.com, Jakarta - Insiden tenggelamnya kapal selam nuklir terbaru milik China telah menjadi pukulan serius terhadap upaya negara tersebut dalam mencapai kesetaraan militer maritim dengan Amerika Serikat (AS).
Menurut pejabat pertahanan AS, insiden ini terjadi pada Mei atau Juni lalu di galangan kapal Wuchang, dekat Wuhan, kota yang juga dikenal sebagai tempat asal pandemi Covid-19. Meski pemerintah China berusaha menutupi kejadian tersebut, citra satelit berhasil mengungkap insiden ini, dikutip pada laman resmi CNBC Indonesia.
Kapal selam kelas Zhou yang tenggelam merupakan kapal selam nuklir terbaru China, dengan desain yang mencolok karena memiliki ekor berbentuk X yang membantu meningkatkan kemampuan manuvernya.
Kapal tersebut dilaporkan tenggelam di dekat dermaga, meski masih belum diketahui apakah ada korban jiwa atau bahan bakar nuklir di kapal pada saat insiden. Beberapa ahli menduga besar kemungkinan kapal tersebut membawa bahan bakar nuklir.
Meskipun kapal selam tersebut akhirnya berhasil diselamatkan, diperkirakan akan memakan waktu berbulan-bulan sebelum kapal tersebut kembali bisa beroperasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait standar pelatihan dan kualitas peralatan militer China, yang sudah lama dikritik karena adanya korupsi di industri pertahanannya.
Seorang pejabat pertahanan Amerika Serikat yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada Reuters bahwa "dinding keheningan" yang menyelimuti kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kompetensi dan akuntabilitas militer China.
Pejabat itu menambahkan bahwa insiden ini memperlihatkan adanya kekurangan dalam pengawasan internal Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), nama resmi angkatan bersenjata China.
"Tidak mengherankan jika Angkatan Laut PLA mencoba untuk menutup-nutupi kejadian ini," katanya, sebagaimana dilansir The Guardian, Jumat (27/9/2024).
Thomas Shugart, seorang mantan perwira kapal selam AS yang kini bekerja di Center for a New American Security, adalah salah satu yang pertama kali mencurigai adanya kecelakaan ini setelah melihat aktivitas tidak biasa dari derek terapung di gambar satelit.
Shugart mengungkapkan di media sosial bahwa mungkin telah terjadi kecelakaan yang melibatkan kapal selam, meski pada saat itu ia belum mengetahui bahwa kapal selam tersebut bertenaga nuklir.
Shugart mengomentari situasi ini dengan membandingkan bagaimana seharusnya insiden serupa akan ditangani di AS.
"Bisakah Anda bayangkan sebuah kapal selam nuklir AS tenggelam di San Diego dan pemerintah diam-diam menutupinya? Itu akan sangat mengejutkan," katanya.
Meskipun belum ada pernyataan resmi dari PLA mengenai kejadian ini, sebuah laporan dari Pentagon pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa China memiliki enam kapal selam balistik bertenaga nuklir, enam kapal selam serangan bertenaga nuklir, dan 48 kapal selam serangan bertenaga diesel.
Armada kapal selam China ini diperkirakan akan bertambah menjadi 65 unit pada tahun 2025 dan mencapai 80 unit pada tahun 2035. Pengembangan kapal selam baru ini, bersama dengan kapal permukaan dan pesawat angkatan laut, bertujuan untuk mengimbangi kekuatan AS di kawasan tersebut, terutama terkait kemungkinan konflik di Taiwan.
Insiden tenggelamnya kapal selam nuklir ini dipandang sebagai kemunduran signifikan dalam rencana China untuk memperluas armada kapal selam nuklirnya.
Brent Sadler, peneliti senior di Heritage Foundation, mengatakan bahwa kejadian ini akan memperlambat rencana China dalam memperkuat kekuatan angkatan lautnya.*