Narasi Indonesia.com, Jakarta - Fanatisme dalam Pilkada di Kabupaten Bima sudah menjadi fenomena yang tidak bisa diabaikan. Dalam setiap pemilihan kepala daerah, masyarakat Bima terpecah dalam kelompok-kelompok yang mendukung pasangan calon tertentu, baik itu pasangan calon (01) maupun (02). Dukungan ini seringkali disertai dengan sikap fanatik yang luar biasa, hingga melahirkan berbagai dinamika di masyarakat.
Perlu diingat bahwa fanatisme tidak selalu berarti buruk. Dalam beberapa hal, fanatisme justru bisa menjadi bentuk keyakinan dan kesetiaan yang mendalam terhadap kebaikan. Namun, di Bima, fanatisme politik yang muncul akhir-akhir ini sudah cenderung melupakan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial. Etika, adab, dan bahkan kepentingan pribadi sering terabaikan.
Fenomena ini semakin terlihat di media sosial. Pilkada serentak yang sedang berlangsung menimbulkan perselisihan di dunia maya. Masyarakat yang fanatik terhadap pasangan calon tertentu tak segan saling ejek, menuduh, hingga terlibat konflik, seperti yang baru-baru ini terjadi di salah satu kecamatan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Provokasi dan radikalisme di antara pendukung semakin memperburuk suasana kontestasi politik.
Para pendukung seakan memuja pasangan calon yang mereka dukung bak malaikat, sementara lawan politik dihina seperti setan. Hal ini mengakibatkan dinamika politik lokal menjadi tidak sehat, di mana rasionalitas dan objektivitas tersisih oleh emosi dan fanatisme buta.
Mereka yang terlibat dalam konflik ini seringkali melupakan bahwa kehidupan pribadi mereka, seperti pekerjaan dan kesejahteraan, jauh lebih penting. Bagaimana mungkin mereka mengurus kepentingan orang lain yang belum tentu akan memberikan manfaat bagi hidup mereka, sementara urusan pribadi mereka sendiri belum terselesaikan?
Di media sosial, fanatisme politik ini sering menjadi pemicu perdebatan panjang. Penghinaan, serangan karakter, dan postingan yang merendahkan lawan politik semakin memperuncing perbedaan. Foto-foto yang diunggah dengan ejekan, serangan terhadap kompetensi calon, dan kritik yang bersifat destruktif menciptakan suasana yang jauh dari demokratis. Emosi yang meluap-luap dianggap sah selama mereka merasa benar, meskipun dampak negatifnya sangat jelas bagi keharmonisan masyarakat.
Fanatisme yang tidak terkontrol ini bukan hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga menggerus rasa kebersamaan dan persaudaraan yang seharusnya menjadi fondasi kuat dalam kehidupan masyarakat Bima.*
Penulis:
Salahudin Al Ayubin (Wasekbid PTKP Komisariat FISIP Universitas Nasional
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Nasional)
Editor:
(m/NI)