Narasi Indonesia.com, Jakarta - Di pelataran Taman Kampus IAIN Ambon, suasana ramai memeluk setiap sudut. Mahasiswa berkumpul, tertawa, dan bercanda, riuh rendah mengisi udara dengan semangat Sumpah Pemuda. Di antara kerumunan, berdirilah Masri, seorang pemuda dengan harapan yang penuh keraguan. Di tangannya tergenggam selembar kertas, puisi yang ia beri judul “Pemuda Lesuh,” sebuah karya yang lahir dari kedalaman jiwanya, menyoroti keputusasaan dan apatisme yang menyelimuti teman-temannya.
Saat namanya dipanggil, hening seketika menyelimuti kerumunan. Semua mata terarah padanya, menantikan suara yang akan mengalir dari bibirnya. Masri mengamati wajah-wajah itu, seolah mencari harapan dalam tatapan kosong dan bingung. Dengan hati bergetar, ia mulai membaca, setiap kata yang terucap adalah cerminan dari batinnya yang mendalam.
“Hati ini, yang dulu bergelora melihat ketidakadilan, kini beku tanpa getar. Dulu, setiap jeritan tertindas memahat luka dalam dada; kini hanya bayang lalu yang hilang tanpa bekas. Seolah nurani telah lelah berperang, membiarkan ketidakadilan jadi pemandangan biasa”, ucap Masri pelan, tetapi tegas. Ia mengalunkan bait-bait puisi itu, suaranya tenang namun penuh emosi. Ia menatap hadirin, melihat sekelompok mahasiswa yang asyik dalam dunia mereka sendiri, mengejar nilai dan prestasi, terjebak dalam ambisi pribadi. Bagi mereka, puisi ini mungkin hanyalah angin lalu, sebuah ritual yang lewat tanpa makna. Tak ada tepukan meriah yang mengiringi akhir pembacaan puisinya, hanya aplaus sopan yang tertinggal, disusul kembali dengan tawa dan obrolan yang penuh kegembiraan.
Setelah turun dari panggung, senyum kecil menghiasi wajah Masri, tetapi di dalam hatinya, rasa getir menusuk. Ia duduk di sudut taman, menyaksikan teman-temannya menyanyi dan menari, menikmati momen tanpa menyadari makna yang lebih dalam dari perayaan ini. Dalam benaknya, panggung itu seharusnya menjadi cermin bagi mereka, menggugah kesadaran akan peran mereka di masyarakat. Namun, apa yang terjadi hanyalah kesenangan sementara, tanpa dampak yang berarti.
Di tengah keramaian, ingatan Masri kembali pada para pemuda di masa lalu. Mereka yang berani, mereka yang bersuara meskipun berisiko. Pemuda yang turun ke jalan, memperjuangkan aspirasi masyarakat, dan melawan ketidakadilan. Hari Sumpah Pemuda bagi mereka bukan sekadar tanggal, melainkan panggilan untuk bertindak. “Apakah semangat itu masih ada dalam diri kita?” tanyanya dalam hati, tatapannya melayang ke arah teman-temannya yang tampak jauh.
Sejenak, Masri merasa ironis. Bagaimana bisa pemuda, generasi penerus, lebih peduli pada masa depan pribadi daripada nasib bangsa? Banyak dari mereka tenggelam dalam obrolan tentang nilai akademis dan peluang kerja, jarang sekali membahas isu sosial yang mengguncang masyarakat. “Apakah kita sudah terjebak dalam kenyamanan?” pikirnya, merasakan diri dan teman-temannya terhimpit oleh idealisme yang tertinggal.
Malam semakin larut, bintang-bintang bersinar samar di langit yang gelap, dan Masri merenungkan makna dari Sumpah Pemuda itu sendiri. “Apa gunanya menjadi pemuda jika kita tak lagi peduli pada apa yang terjadi di sekitar?” Pertanyaan itu terus membayangi pikirannya, menuntut kehadiran rasa tanggung jawab yang telah lama terpendam. Ia ingat nasihat seorang dosennya, "Di tangan pemuda terletak masalah umat dan di kaki pemuda terletak kehidupan umat.” Namun, tangan dan kaki itu akan rapuh jika tidak dikuatkan oleh semangat yang tulus.
Masri mengingat survei yang pernah ia baca, yang menunjukkan bahwa hanya sekitar 38% pemuda Indonesia yang aktif dalam kegiatan sosial. Angka itu, meskipun tampak kecil, bagi Masri adalah gambaran jelas dari keadaan generasinya. Kenapa begitu sedikit dari mereka yang bersedia mengangkat suara untuk perubahan?
Bagi Masri, peringatan Sumpah Pemuda seharusnya menjadi momen refleksi, bukan hanya sekadar festival. Namun, di hadapannya, ia melihat bagaimana banyak dari teman-temannya lebih memilih untuk terjebak dalam euforia yang dangkal, tanpa berani melangkah keluar dari zona nyaman mereka. Malam itu, Masri merasa tidak hanya bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, tetapi untuk mengajak yang lain berpikir.
Malam itu, Masri meninggalkan taman dengan hati penuh kegelisahan. Ia tahu bahwa teman-temannya mungkin belum siap untuk menyadari perubahan besar. Namun, ia percaya kesadaran itu bisa tumbuh. Dalam keramaian, ia merasa asing, tetapi ia tahu jalannya tak mudah. Menjadi pemuda adalah tentang memahami peran dan tanggung jawab. Di balik pencapaian pribadi, ada panggilan untuk memperbaiki keadaan.
Masri berharap suatu hari kesadaran akan bangkit dalam jiwa setiap orang yang hadir malam itu. Ia ingin mereka kembali pada makna sejati Sumpah Pemuda. Bahwa pemuda bukan sekadar pencari mimpi pribadi, tetapi mereka yang peduli pada nasib masyarakat. Ia ingin menggugah mereka dari keterlenaan, menantang mereka untuk bertanya, “Apa yang bisa kita lakukan untuk bangsa ini?” Di tengah sunyi malam, ia berjalan pulang dengan langkah tenang dan penuh harapan. Meski langkahnya kecil, ia tahu bahwa ia telah memulai perjalanan mencari makna sejati sebagai pemuda, sebuah perjalanan yang takkan berhenti dalam mencari cahaya di tengah kegelapan.
Dengan tekad yang bulat, Masri bertekad untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan yang pernah ada, memupuk kesadaran di kalangan pemuda untuk tidak hanya menjadi penonton dalam sejarah, tetapi sebagai penulisnya. Dia akan melawan apatisme, bukan hanya melalui puisi, tetapi dengan aksi nyata. Sumpah Pemuda bukan hanya kenangan; itu adalah panggilan untuk mempersatukan hati dan jiwa, agar pemuda dapat bangkit dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Kekuatan kolektif, harapan, dan keberanian adalah senjata yang akan ia bawa dalam perjuangan ini, dan ia berjanji, tidak akan berhenti sampai pesan itu tertanam dalam sanubari setiap pemuda yang dia temui.*
Penulis:
Risno Ibrahim
Editor:
(m/NI)