Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Refleksi Peringatan Hari Sumpah Pemuda: Perlukah Peringatan Hari Mahasiswa Indonesia (HMI) ?

Selasa, 29 Oktober 2024 | Oktober 29, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-29T11:52:51Z


Narasi Indonesia.com, Jakarta - Sudah menjadi tradisi setiap peristiwa yang berkenaan dengan perjuangan anak pemuda bangsa dalam membela tanah air dan mengusir penjajah akan dirayakan seramai mungkin. Demi mengingat dan mengenang peristiwa masa lalu guna menumbuhkan rasa patriotisme bagi generasi penerus, banyak hari yang dicantumkan dalam kalender nasional untuk wajib diperingati dan digelar perayaannya. Pada rentang bulan Oktober saja, kita sudah memperingati dua belas hari nasional diantaranya :


1. Hari Kesaktian Pancasila (HKP) 01 Oktober;

2. Hari Batik Nasional (HBN) 02 Oktober;

3. Hari Tentara Nasional Indonesia (HTN) 05 Oktober;

4. Hair Tata Ruang Nasional (HTRN) 08 Oktober;

5. Hari Museum Nasional (HMN) 12 Oktober;

6. Hari Tilem (HT) 14 Oktober;

7. Hari Parlemen Indoesia (HPI) 16 Oktober;

8. Hari Santri Nasional (HSN) 22 Oktober;

9. Hari Dokter Indonesia (HDI) 24 Oktober;

10. Hari Penerbangan Nasional (HPN), Hari Listrik Nasional (HLN), Hari Narablog Nasional (HNN) 27 Oktober;

11. Hari Sumpah Pemuda (HSP) 28 Oktober;

12. Hari Keuangan Nasional (HKN) 30 Oktober.


Setiap tanggal 28 Oktober, seluruh masyarakat Indonesia merayakan peringatan Hari Sumpah Pemuda yang digelar untuk mengingat historis aksi para pemuda pada tahun 1928. Dimana pada saat itu seluruh pemuda dari seluruh Nusantara bergabung dan menggelar Kongres Pemuda II dengan menghasilkan ikrar persatuan yang ditulis oleh tokoh pergerakan Moh. Yamin. Ikrar persatuan pemuda ini lebih kita kenal dengan sebutan sumpah pemuda yang berisi tiga keputusan yakni pengakuan atas bertumpah darah satu, berbangsa satu dan bahasa satu.


Sejarah sumpah pemuda sudah kita pahami sejak dari bangku Sekolah Dasar yang sudah diajarkan bahwa perjuangan para pemuda tempo dulu adalah besar. Jasa para pejuang muda menentukan kemenangan mengusir penjajah yang senantiasa diabadikan dalam epos atau kisah sejarah heroik yang dituturkan di setiap pelajaran sejarah sekolah. Hingga masuk pada tahun 1944, golongan pemuda mulai berdinamika dalam perpolitikan nasional sedang diuji dengan pergulatan ideologi dan persiapan merebut kemerdekaan dengan proklamasi.


Kita semua tahu betapa dahsyatnya pergulatan dua ideologi besar antara aliran liberalisme dan komunisme yang telah masuk di Indonesia. Dan dinamika teknis para pemuda dalam persiapan deklarasi setelah melalui sidang teknis PPKI, BPUPKI, penculikan ke kota Rengasdengklok di Jawa Barat hingga pada akhirnya pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Semua itu adalah usaha daripada semua pemuda terpelajar yang menghibahkan dirinya untuk dinamika perjuangan Indonesia.


Namun, hari ini penulis ingin mengajak pembaca untuk berefleksi atas kelanjutan epos pergerakan pasca kemerdekaan yang digantikan oleh peran mahasiswa. Kita semua tahu sebelum era proklamasi, para pejuang kita terdiri dari petani, pedagang, buruh, santri, pelajar dan ragam pemuda lain yang terkonsentrasi membangun sebuah gerakan kemerdekaan. Mereka semua berhimpun dalam suatu organisasi dan berdiskusi saling memberi pencerahan politik sehingga muncullah pergerakan melawan.


Pasca era kemerdekaan dan terbentuknya Republik Indonesia sebagai negara dengan Sukarno sebagai presiden, epos pergerakan politik diteruskan oleh mahasiswa yang sejak tahun 1947 sudah aktif ikut menahan serangan penjajah yang kembali dalam agresi militer I dan II yang dilancarkan Belanda. Sejak Jepang takluk dari Amerika dan Sekutu, Indonesia gelar proklamasi pendirian negara berdaulat yang dipelopori oleh pemuda terpelajar kala itu. Dari proklamasi itu terpilih Sukarno dan Moh, Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.


Momen proklamasi itu mengundang Belanda datang kembali ke Indonesia untuk tujuan merebut kembali tanah jajahan dampak kelumpuhan ekonomi pasca perang dunia II. Dengan sekuat tenaga dan gabungan pemuda dan mahasiswa membendung serangan Belanda yang lengkap Dengan senjata. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi baru yang lahir pada 5 Februari 1947 berperan memanggul senjata membantu tentara memukul mundur penjajah.


HMI bersama organisasi pelajar lainnya seperti Ikatan Pelajar Indonesia (1946) dan Pelajar Islam Indonesia (1947) pernah menjalani perjuangan fisik melawan penjajah. Banyak dari anggota HMI, IPI dan PII yang masuk sukarela menjadi bagian dari pasukan tentara Indonesia dan memperkuat pertahanan. Hingga pada akhirnya Indonesia lepas penuh dari jeratan Belanda pada bulan Juli 1949, ditandai nya pembebasan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta (yang sempat diculik) setelah menuai kecaman kuat dari dunia internasional. 


Pasca Indonesia berdiri sebagai negara berdaulat, peran mahasiswa tidak berhenti. Mahasiswa berdiskusi seputar kabinet Sukarno awal yang penuh dinamika dan belum stabil. Mulai dari gejolak di antara partai politik, kebingungan utak-atik sistem politik demokrasi, perdebatan antara kelompok islamis, nasionalis dan komunis, hingga gerakan komunis dalam terror pembunuhan dan pembantai terhadap kelompok santri di beberapa wilayah Jawa.


Mahasiswa berperan kritik kebijakan Sukarno, demonstrasi menagih stabilitas pangan nasional hingga menyuarakan penolakan terhadap kelompok komunis yang dekat dengan Presiden Sukarno dan menjadi ancaman nasional. Hingga pada akhirnya meledak G30S/PKI yang menjadi tragedi terbesar sepanjang sejarah negara Indonesia. Yakni pembunuhan enam jenderal satu perwira di Lubang Buaya dan direspon dengan pembasmian kelompok komunis.


Peralihan presiden dari Sukarno ke Suharto, mengawali babak baru orde baru. Dengan pemimpin Indonesia yang baru, pergerakan kritis mahasiswa tidak tumpul kendati mendapat cengkreman kuat dari militer arahan presiden. Sampai pada kejadian Malapetaka Limabelas Januari atau yang dikenal Dengan Malari. Malaria berlangsung dari tanggal 15-16 Januari 1974. Malaria digelar sebagai aksi demontrasi biasa dari mahasiswa dan masyarakat miskin kota yang berbarengan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Indonesia.


Aksi demonstrasi ini memprotes praktik korupsi, ketidasetaraan investasi asing hingga perebutan kekuasaan militer. Demonstrasi kemudian berubah menjadi pogrom dan kerusuhan yang radikal dengan menewaskan 11 orang dan 137 mengalami luka-luka. Gerakan Malari adalah bukti bahwa mahasiswa tetap ada mengawal kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Hingga pada puncaknya gerakan reformasi yang bertujuan meminta Presiden Suharto turun.


Reformasi 98 merupakan gerakan puncak mahasiswa dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dimana seluruh mahasiswa se Indonesia baik di Jakarta atau di daerah-daerah saling berhimpun dan menyuarakan Suharto turun dari kursi presiden. Alasan dari gerakan ini krisis moneter 1997 yang mendera Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara berdampak terhadap ekonomi Indonesia yakni inflasi dan pengangguran. Ditambah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme pemerintah ditandainya dengan terpilihnya kembali Suharto sebagai presiden selama tujuh pemilu.


Demonstrasi mahasiswa menuntut agar sistem pemerintahan Indonesia segera direformasi, hapus dwifungsi ABRI, amandemen UUD 1945, melaksanakan otonomi daerah, supremasi hukum dan menciptakan pemerintahan yang bebas dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Para mahasiswa juga meminta Suharto turun tahta dan seluruh kroni Suharto agar diadili karna dianggap telah merugikan negara. Terbukti, pada tanggal 21 Mei 1998 Suharto mundur dan posisi kursi presiden diambilalih oleh Wakil Presiden, B.J Habibie. 


Era pasca reformasi, mahasiswa kembali aktif sebagai agent of control pemerintahan. Mahasiswa masih eksis mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil dengan cara menggelar aksi demontrasi di depan gedung DPR dan Pemerintah Kota. Analisis mahasiswa tidak pernah tumpul dan lari dari kenyataan sewenang-wenang pejabat. Mahasiswa akan terus mengawasi kerja-kerja politik (public policy) pemerintah menjabat guna meneruskan semangat yang sejak dulu dipupuk masa-masa memukul mundur penjajah.


Gerakan mahasiswa terbaru adalah gerakan mahasiswa mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Rancangan Undang Undang (RUU) Pilkada yang telah disahkan yaitu menurunkan ambang batas menjadi 7,5% yang berencana hendak dianulir oleh DPR RI. Tindakan anulis oleh DPR RI ini mendapat kecaman keras dari mahasiswa yang memahami bahwa keputusan MK adalah keputusan yang final dan tidak bisa diganggu gugat.


Sekarang penulis ingin mengajak pembaca merenungi peran mahasiswa dalam sejarah pergolakan politik bangsa. Mahasiswa menjadi pengawal tunggal bersama rakyat menjaga dan membela kepentingan negara yang disalurkan dalam beragam bentuk. Mahasiswa adalah dewa rakyat dan negara yang tanpa diminta dan disuruh akan bergerak sendiri mengamankan kedudukan rakyat dan marwah negeri. 


Kemarin tanggal 28 Oktober 2024 kita sudah menjalani peringatan Hari Sumpah Pemuda guna mengenang dan merenungi jasa para pemuda tempo dulu yang berjuang demi bangsa dan negara. Seyogianya penulis seringkali merenung dan bertanya setelah membaca perjuangan panjang mahasiwa yang juga menjaga negeri ini dari berbagai ancaman, apakah kita perlu memberi apresiasi atau kehormatan terhadap mahasiswa dalam bentuk penobatan Hari Mahasiswa Indonesia (HMI)?


Tujuan dari penobatan Hari Mahasiswa Indonesia adalah mengenang dan meneladani segala aksi tanpa pamrih yang telah dijalankan oleh para mahasiswa se Indonesia. Khidmat mahasiswa untuk negeri tidak lagi diragukan sehingga penulis menimbang sudah seharusnya pemerintah setuju dan melihat mahasiswa sebagai pahlawan tanpa jasa. Bukan saja guru, jasa mahasiswa sangat besar dalam mempertahankan kebutuhan bangsa yang dikemas dalam aksi gerakan perjuangan angkat senjata ataupun demonstrasi mengajukan kritik.*


Penulis:

M. Yusfan Firdaus J. (Ketua Umum Badko HMI Jatim)


Editor:

(m/NI)

×
Berita Terbaru Update