Narasi Indonesia.com, Jakarta - Di era digitalisasi yang menawarkan kemudahan akses informasi, paradoks aneh sering muncul di tengah masyarakat.
Sulistyo Basuki dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Perpustakaan (1993) menyebutkan bahwa teknologi informasi adalah teknologi yang digunakan untuk menghasilkan, menyimpan, mengolah, dan menyebarkan informasi. Nah, orang-orang yang mengklaim diri cerdas, memiliki akses ke pusat informasi, atau bahkan dianggap berpengaruh, justru kerap memperlihatkan degradasi informasi dalam tindakan dan pemikirannya. Kritik yang mereka lontarkan tidak jarang berujung menjadi bahan ejekan dan perundungan, karena ketidakmampuan mereka memahami substansi dari apa yang mereka kritik.
Menurut Yasraf Amir Piliang dalam jurnalnya yang berjudul "Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial" menyatakan bahwa perkembangan teknologi informasi telah menciptakan sebuah ruang baru yang bersifat artifisial dan maya, yaitu cyberspace. Cyberspace telah mengalihkan berbagai aktivitas manusia (politik, sosial, ekonomi, kultural, spiritual, seksual) di dunia nyata ke dalam berbagai bentuk substitusi artifisialnya, sehingga apapun yang dapat dilakukan di dunia nyata kini dapat dilakukan dalam bentuk artifisialnya di dalam cyberspace. Hal inilah yang kemudian yang terjadi akhir-akhir ini di tengah berbagai dinamika politik yang terjadi.
Fenomena ini muncul dari sebuah pola yang sederhana: banyak orang tergesa-gesa mengomentari sesuatu tanpa memahami inti permasalahan. Mereka hanya "melihat cover buku tanpa membaca isinya" dan terburu-buru mengambil kesimpulan.
Akhirnya berdampak, kritik yang seharusnya memperkaya diskursus publik justru menjadi cerminan kedangkalan berpikir yang merugikan dirinya sendiri.
Era digital informasi di ujung jari, tapi substansi terabaikan. Kemajuan teknologi telah membawa manusia pada akses informasi yang nyaris tak terbatas. Apa pun yang ingin diketahui, dalam hitungan detik bisa ditemukan melalui mesin pencari atau media sosial. Namun, sayangnya, banyak orang yang malas atau abai memanfaatkan kemudahan ini untuk mendalami suatu isu. Mereka lebih memilih jalan pintas: membaca sepenggal berita, menonton cuplikan video tanpa konteks, atau hanya mengandalkan pendapat dari pihak tertentu.
Hal ini menjadi ironi besar. Di saat informasi melimpah, kemampuan menyaring dan memahami informasi justru menurun. Mereka yang mengaku cerdas sering kali mengabaikan fakta-fakta penting dan lebih sibuk dengan persepsi pribadi yang dangkal. Dalam kondisi ini, kritik mereka tidak hanya kehilangan esensinya, tetapi juga berpotensi menciptakan fallacy (kesalahan logika) yang mempermalukan diri sendiri.
Hantu di media sosial, kritik tanpa dasar, kedunguan terpampang nyata. Media sosial menjadi tempat favorit bagi mereka yang ingin bersuara, bahkan tanpa landasan yang kuat. Fenomena ini melahirkan banyak "hantu" di dunia maya sosok yang bersembunyi di balik layar, merasa berani menyampaikan kritik tanpa mengetahui substansi dari apa yang mereka bahas. Kritik seperti ini hanya berujung pada dua hal: mempermalukan diri sendiri atau menjadi bahan tertawaan publik.
Mengkritik tanpa memahami substansi ibarat menembak sasaran dalam gelap. Tidak ada arah yang jelas, dan tembakan tersebut hampir pasti meleset. Publik yang lebih cerdas akan dengan mudah melihat celah dari kritik yang asal-asalan ini dan menjadikannya bahan olok-olok. Akhirnya, alih-alih dianggap cerdas, orang tersebut justru menunjukkan kedunguannya secara terang-terangan.
Maka dari itu, di era di mana informasi melimpah, kedangkalan berpikir bukan lagi alasan. Ketika seseorang memilih untuk mengabaikan substansi dan tetap melontarkan kritik sembarangan, kedunguannya akan menjadi bahan tertawaan publik. Oleh karena itu, mari menjadi masyarakat yang tidak hanya kritis, tetapi juga cerdas dalam memahami dan menyampaikan kritik. Hanya dengan cara ini kita bisa membangun diskursus yang sehat dan bermakna. Salam sehat dan salam perdamaian dalam momentum pilkada serentak. Politik hanya sementara, kekeluargaan selamanya.*
Penulis:
Abdul Karim Rahanar, SH., MH. (Tokoh Muda Kota Tual)
Editor:
(m/NI)