Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Menjaga Integritas Demokrasi, Menolak Koruptor dalam Pilkada

Senin, 18 November 2024 | November 18, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-11-18T09:24:11Z


Narasi Indonesia.com, Jakarta - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu momen penting dalam demokrasi Indonesia, di mana rakyat memilih pemimpin yang akan mengelola wilayahnya, baik itu di tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi. Tahun ini terdapat 37 Provinsi dan 508 kabupaten/kota menyelenggarakan pilkada secara serentak. Namun, seringkali Pilkada tidak lepas dari kontroversi, salah satunya adalah munculnya calon-calon yang pernah terlibat atau diduga terlibat dalam kasus korupsi. Kehadiran calon kepala daerah dengan rekam jejak korupsi menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai moralitas dan integritas sistem demokrasi kita.


Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merusak fondasi negara. Dalam konteks politik, korupsi mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan memperdalam ketidakadilan sosial. Seorang koruptor yang memegang kekuasaan cenderung menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat.


Pilkada yang melibatkan calon koruptor menimbulkan paradoks dalam demokrasi. Seperti halnya yang terjadi di Pilkada Kota Malang dan beberapa daerah lainnya. Di satu sisi, demokrasi memberi hak kepada setiap individu untuk dipilih dan memilih. Namun, apakah seorang mantan koruptor layak untuk kembali menduduki posisi strategis setelah mereka mencederai kepercayaan publik? Dalam hal ini, etika dan moralitas harus menjadi panduan dalam menilai layak tidaknya seseorang untuk dipilih kembali, bukan hanya sekadar mekanisme hukum formal.


Pandangan Filsafat tentang Koruptor dalam Pilkada

Dalam menghadapi masalah korupsi, kita bisa menarik pelajaran dari beberapa pemikiran filsafat yang menentang perilaku korup. Salah satunya adalah pandangan Immanuel Kant, filsuf besar dari abad ke-18 yang terkenal dengan teori "Etika Deontologi." Kant meyakini bahwa moralitas seseorang harus didasarkan pada kewajiban yang bersifat universal, yaitu apa yang seharusnya dilakukan tanpa mempertimbangkan hasil atau konsekuensinya. Menurut Kant, tindakan korupsi tidak dapat dibenarkan karena melanggar prinsip moralitas yang universal, yaitu kewajiban untuk bertindak secara jujur, adil, dan menghormati hak orang lain.


Dalam konteks Pilkada, memilih seorang koruptor, meskipun mereka mungkin telah menyelesaikan hukuman formal mereka, berarti kita mengabaikan kewajiban moral kita untuk mendukung pemimpin yang benar-benar memiliki integritas. Kant menekankan bahwa tindakan moral harus diambil karena itu adalah hal yang benar, bukan karena ada keuntungan atau kompromi politik. Dengan demikian, dari sudut pandang Kantian, melibatkan koruptor dalam Pilkada adalah pelanggaran terhadap kewajiban moral warga negara untuk memilih pemimpin yang benar-benar berintegritas.


Selain Kant, kita juga bisa merujuk pada pemikiran Plato dalam karyanya The Republic. Plato percaya bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang memiliki "episteme," atau pengetahuan tentang kebaikan dan keadilan. Menurut Plato, negara ideal harus dipimpin oleh "filsuf-raja," yaitu pemimpin yang bijaksana, jujur, dan tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi. Seorang koruptor, jelas tidak memenuhi kriteria ini, karena korupsi adalah bentuk ketidakadilan yang dilakukan demi kepentingan pribadi atau kelompok, bukan demi kebaikan bersama. Plato juga memperingatkan tentang bahaya ketika kekuasaan berada di tangan orang yang tidak bermoral; mereka akan cenderung menggunakan kekuasaannya untuk memperburuk keadaan negara.


Korupsi dan Kerusakan Sosial

Korupsi, ketika dilakukan oleh pejabat publik, tidak hanya berdampak pada ekonomi atau tata kelola pemerintahan, tetapi juga memengaruhi psikologi sosial masyarakat. Keikutsertaan mantan koruptor dalam Pilkada bisa merusak moral kolektif masyarakat. Ketika seorang koruptor dapat kembali mencalonkan diri atau bahkan menang dalam pemilihan, pesan yang diterima masyarakat adalah bahwa korupsi adalah kejahatan yang dapat diampuni atau bahkan dilupakan, asalkan seseorang memiliki pengaruh politik atau kekuatan finansial yang cukup.


Keterlibatan koruptor dalam pilkada dapat memperkuat budaya korupsi dalam birokrasi dan politik. Ketika seorang pemimpin yang terpilih adalah seorang koruptor, ia akan membangun jaringan patronase yang melibatkan banyak pihak dalam lingkaran kekuasaan untuk melindungi dan memperluas korupsi. Budaya ini sulit dihancurkan karena melibatkan banyak orang yang saling melindungi kepentingan satu sama lain.


Ini menciptakan siklus ketidakpercayaan terhadap sistem politik. Masyarakat akan merasa bahwa tidak ada gunanya memperjuangkan nilai-nilai moral dan keadilan, karena pada akhirnya, orang yang tidak jujur masih dapat memperoleh kekuasaan. Lebih buruk lagi, hal ini bisa mendorong budaya permisif terhadap korupsi, di mana masyarakat merasa bahwa korupsi adalah sesuatu yang "normal" atau tak terhindarkan.


Upaya Memutus Siklus Korupsi

Untuk mencegah kembalinya koruptor dalam Pilkada, penting adanya perbaikan dalam regulasi politik dan hukum yang lebih tegas. Misalnya, pengaturan lebih ketat terkait larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilihan. Selain itu, partai politik juga harus berperan lebih aktif dalam memastikan bahwa calon-calon yang mereka usung memiliki rekam jejak yang bersih dari korupsi.


Namun, regulasi saja tidak cukup. Pendidikan politik bagi masyarakat juga sangat penting. Masyarakat harus dididik untuk tidak hanya memilih berdasarkan popularitas atau materi, tetapi berdasarkan rekam jejak dan integritas. Dalam hal ini, media dan organisasi masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam memberikan informasi yang akurat tentang rekam jejak calon-calon kepala daerah.


Pilkada yang melibatkan koruptor adalah masalah serius yang bisa merusak kualitas demokrasi di Indonesia. Meskipun hak politik seseorang diakui dalam demokrasi, keterlibatan mantan koruptor dalam Pilkada adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan dan integritas. Dari perspektif filsafat moral, seperti pandangan Kant dan Plato, korupsi adalah tindakan yang tidak dapat ditoleransi karena melanggar prinsip-prinsip moral yang mendasar. Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar berintegritas yang layak memimpin. Dengan begitu, kita bisa memperbaiki kualitas demokrasi kita dan mencegah korupsi terus merajalela di masa depan.*


Penulis: 

Ode Rizki Prabtama (Alumni Magister Filsafat Universitas Indonesia)


Editor:

(m/NI)

 

×
Berita Terbaru Update