Narasi Indonesia.com, Jakarta - Dalam teori demokrasi yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, demokrasi dibagi menjadi dua bentuk: demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung (perwakilan). Demokrasi langsung melibatkan rakyat secara langsung dalam pengambilan keputusan, yang hanya mungkin dilakukan dalam masyarakat kecil dengan kondisi sosial sederhana. Namun, pada era modern, demokrasi perwakilan lebih umum diterapkan, dengan rakyat memilih perwakilan untuk menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Prinsip demokrasi yang ideal adalah adanya keseimbangan antara infrastruktur politik (masyarakat) dan suprastruktur politik (pemerintah), sehingga proses demokrasi dapat berjalan baik. Namun, dalam praktiknya, proses demokrasi sering kali dicederai oleh dinamika politik yang tidak sehat, terutama saat perhelatan pemilu.
Saat ini, dalam pesta demokrasi lima tahunan, banyak fenomena negatif muncul di ruang publik, termasuk strategi kampanye yang merusak nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Kampanye politik yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan program unggulan sering kali berubah menjadi ajang saling menjatuhkan, bahkan menggunakan cara-cara yang tidak etis.
Negative Campaign vs. Black Campaign
Dalam dunia politik, negative campaign dan black campaign memiliki perbedaan mendasar: Negative campaign adalah upaya mengkritik lawan politik dengan mengungkapkan fakta yang relevan, seperti kelemahan kebijakan atau rekam jejak yang buruk. Strategi ini masih dianggap etis selama didasarkan pada data yang valid dan tidak mengandung fitnah.
Black campaign sebaliknya, adalah penyebaran informasi palsu atau fitnah untuk menjatuhkan lawan politik. Kampanye hitam tidak hanya melanggar etika, tetapi juga dapat memicu perpecahan di masyarakat.
Sayangnya, banyak tim sukses dan pendukung pasangan calon yang tidak memahami perbedaan ini. Dalam banyak kasus, kritik yang seharusnya bersifat konstruktif berubah menjadi serangan personal yang tidak berdasar. Perdebatan di media sosial juga sering kali didominasi oleh hujatan dan propaganda negatif yang tidak mencerminkan esensi demokrasi.
Pentingnya Demokrasi yang Sehat
Demokrasi yang sehat memerlukan edukasi politik bagi masyarakat. Stakeholder politik, termasuk tim sukses pasangan calon, memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan visi, misi, dan program kerja kandidat dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Fokus pada program kerja akan membantu masyarakat membuat pilihan berdasarkan informasi yang jelas dan rasional.
Jika black campaign terus dilakukan, polarisasi masyarakat akan semakin tajam, mengancam stabilitas sosial dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Oleh karena itu, semua pihak harus menjaga agar demokrasi tetap berjalan pada jalurnya, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etika politik dan menghormati hak pilih masyarakat.
Demokrasi tidak hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang membangun kesadaran kolektif untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Mari kita jaga pesta demokrasi tetap bermartabat dengan mengedepankan ide dan gagasan, bukan fitnah dan kebencian.*
Penulis:
Abdul Karim Rahanar, S.H., M.H (Tokoh Muda Kota Tual)
Editor:
(m/NI)