![]() |
Narasi Indonesia.com, Jakarta - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusung oleh pasangan Prabowo-Gibran telah menjadi salah satu agenda besar dalam perencanaan anggaran tahun 2025. Dengan alokasi dana yang sebelumnya Rp 71 triliun menjadi 171 Triliun, hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara BRI Microfinance Outlook 2025 di International Convention Exhibition (ICE) BSD City, Kamis (30/1/2025), program ini bertujuan untuk meningkatkan gizi masyarakat, khususnya anak-anak sekolah, serta menggerakkan sektor pangan dalam negeri. Namun, efektivitas program ini patut dikritisi mengingat beberapa aspek yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan yang diharapkan dan malah menjadi malapetaka.
1. Beban Fiskal yang Berat
Alokasi anggaran sebesar Rp 171 triliun dalam kondisi fiskal yang terbatas berisiko menambah beban keuangan negara. Target defisit fiskal yang diperkirakan berada pada kisaran 2.29% - 2.82% menunjukkan bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam mengelola pengeluaran. Dengan kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya stabil pasca-pandemi, besarnya anggaran MBG berpotensi mengorbankan alokasi untuk sektor lain yang juga krusial, seperti kesehatan, infrastruktur, dan pendidikan.
2. Efektivitas Distribusi dan Pelaksanaan
Salah satu tantangan terbesar dari program subsidi berbasis pangan adalah distribusi yang tidak merata dan potensi penyalahgunaan anggaran. Program serupa di berbagai negara menunjukkan bahwa tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, kebocoran anggaran dan inefisiensi distribusi sering terjadi. Di Indonesia, tantangan geografis yang luas juga dapat memperumit penyaluran bantuan makanan secara merata, terutama di daerah terpencil yang memiliki infrastruktur terbatas.
3. Potensi Ketergantungan dan Kurangnya Pemberdayaan
Alih-alih meningkatkan kemandirian pangan masyarakat, program MBG berpotensi menciptakan ketergantungan terhadap bantuan pemerintah. Tanpa adanya strategi jangka panjang untuk memperkuat produksi pangan lokal dan meningkatkan daya beli masyarakat, program ini dapat menjadi solusi sementara yang tidak berkelanjutan. Seharusnya, pemerintah lebih menitikberatkan pada pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui subsidi pertanian, insentif bagi UMKM pangan, serta edukasi gizi yang lebih efektif.
4. Minimnya Kajian Dampak Jangka Panjang
Hingga saat ini, kajian mendalam terkait dampak jangka panjang dari program MBG terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian belum dipaparkan secara transparan. Pemerintah perlu menyediakan analisis berbasis data terkait bagaimana program ini dapat benar-benar mengurangi masalah malnutrisi secara sistematis dan bukan sekadar menjadi program populis yang hanya efektif dalam jangka pendek.
5. Alternatif Solusi yang Lebih Efektif
Sebagai alternatif, pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan yang lebih holistik dan berorientasi jangka panjang, seperti:
a). Peningkatan Program Kartu Sembako Memperluas jangkauan penerima manfaat dengan skema yang lebih fleksibel untuk memastikan masyarakat dapat membeli bahan pangan sesuai kebutuhan.
b). Investasi di Infrastruktur Pangan Memperbaiki rantai pasok dan distribusi pangan guna menekan harga makanan bergizi agar lebih terjangkau.
c). Edukasi Gizi dan Pola Hidup Sehat Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi seimbang melalui kampanye nasional yang lebih terarah.
Meskipun Program Makan Bergizi Gratis memiliki niat baik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kebijakan ini perlu dievaluasi lebih lanjut agar tidak menjadi beban fiskal yang tidak terkendali dan justru menciptakan ketergantungan. Diperlukan pendekatan yang lebih berorientasi pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, peningkatan produksi pangan lokal, serta sistem distribusi yang lebih transparan dan efektif. Tanpa evaluasi yang matang, program ini berisiko menjadi inisiatif populis yang tidak berkelanjutan dan kurang berdampak signifikan terhadap perbaikan gizi masyarakat secara menyeluruh.*
Oleh: Muhardi (Direktur Eksekutif BAKORNAS LAPENMI PEB HMI)