![]() |
Narasi Indonesia.com, Jakarta – Di balik gemuruh rencana pembangunan dan kemajuan ekonomi yang digembar-gemborkan, sektor pendidikan Indonesia masih dihadapkan pada masalah mendalam yang terus terabaikan. Tak hanya soal anggaran yang terbatas, tetapi juga masalah terkait kualitas tenaga pendidik yang kini menjadi isu krusial dalam mencetak generasi emas bangsa, pada Jumat (14/2/2025).
Ketimpangan Pendidikan: Antara Harapan dan Realita
Indonesia, sebagai negara besar dengan lebih dari 270 juta penduduk, harus menghadapi tantangan besar dalam menyediakan pendidikan yang merata dan berkualitas. Satu sisi, anggaran pendidikan dalam APBN 2025 diproyeksikan mencapai Rp 724,2 triliun, sebuah angka yang seharusnya dapat menjadi angin segar untuk sektor ini. Namun, kenyataannya jauh dari itu. Kebijakan pemangkasan anggaran yang baru-baru ini diumumkan memicu kegelisahan, khususnya di kalangan para pelaku pendidikan.
Ketua Komisi Pendidikan dan Kebudayaan PB HMI, M. Risdamuddin, menilai pemangkasan ini berpotensi merugikan sektor pendidikan secara keseluruhan. Dalam laporannya, ia mengungkapkan bahwa kebijakan ini berisiko melanggar amanat konstitusi yang mengharuskan pemerintah mengalokasikan minimal 20 persen APBN untuk pendidikan.
"Jika pemangkasan ini disetujui, kita akan melanggar komitmen terhadap konstitusi negara yang menjamin hak pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia," tegasnya.
Krisis Anggaran dan Ketimpangan Fasilitas
Faktor terbesar yang menghambat kualitas pendidikan di Indonesia bukan hanya terletak pada terbatasnya anggaran, tetapi juga ketimpangan dalam distribusi fasilitas pendidikan. Masih banyak sekolah di daerah pelosok yang kekurangan sarana dan prasarana dasar. Di beberapa daerah, guru-guru harus mengajar dengan alat bantu yang serba terbatas, bahkan di tengah tuntutan untuk mencetak lulusan yang siap bersaing di dunia global.
Pada saat yang sama, pemangkasan anggaran yang melibatkan kementerian-kementerian terkait pendidikan, seperti Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Kebudayaan, semakin memperburuk situasi ini. Terlebih, meskipun anggaran pendidikan yang disepakati mencapai Rp 724,2 triliun, sebagian besar masih terkendala oleh pembatasan-pembatasan yang diberikan pemerintah dalam upaya efisiensi anggaran.
“Dengan adanya pemangkasan ini, kita justru menambah beban bagi sektor pendidikan yang sudah lama menghadapi keterbatasan,” ungkap Risdamuddin dalam pernyataannya kepada media.
"Pendidikan adalah hak dasar setiap anak bangsa, dan mengurangi alokasi anggaran untuk pendidikan adalah langkah mundur yang sangat berbahaya."
Tenaga Pendidik: Pilar yang Terlupakan
Lebih dari itu, di balik masalah anggaran, sektor pendidikan dihadapkan pada masalah utama: tenaga pendidik. Indonesia masih kekurangan tenaga pengajar yang berkualitas dan tersebar secara merata di seluruh wilayah. Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN), hingga 2024, jumlah guru yang tidak memiliki sertifikasi profesi masih cukup tinggi. Hal ini menjadi hambatan besar dalam menciptakan kualitas pendidikan yang merata.
Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru non-ASN, yang baru saja dinaikkan tunjangannya menjadi Rp 2 juta, memang menunjukkan niat baik untuk memperbaiki kualitas tenaga pendidik. Namun, kenaikan tersebut tidak cukup untuk mengatasi masalah mendasar, seperti kurangnya pelatihan dan pengembangan profesional guru di banyak daerah. Sebagian besar guru di daerah terpencil masih merasa kurang dilibatkan dalam pelatihan yang memadai.
"Meskipun ada upaya untuk menaikkan tunjangan, itu belum cukup untuk mengatasi ketimpangan dalam kesejahteraan dan profesionalisme guru di lapangan. Pelatihan dan peningkatan kapasitas mereka harus jadi prioritas, karena guru adalah ujung tombak dalam pendidikan," kata Risdamuddin.
Solusi atau Keputusasaan?
Tantangan besar bagi Indonesia adalah bagaimana mengelola anggaran pendidikan dengan lebih bijak dan efektif. Pendidikan yang merata tidak bisa tercapai hanya dengan mencetak banyak sekolah atau menambah jumlah guru, tetapi juga dengan meningkatkan kualitas dari setiap elemen dalam sistem pendidikan itu sendiri. Di tengah krisis anggaran, yang dibutuhkan adalah kebijakan yang berorientasi pada solusi jangka panjang, bukan sekadar pemangkasan yang justru memperburuk keadaan.
Pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Kebijakan anggaran yang berkelanjutan dan pemenuhan hak pendidikan bagi setiap warga negara harus menjadi landasan dalam setiap pengambilan keputusan. Kita tidak hanya berbicara tentang angka-angka dalam APBN, tetapi tentang masa depan bangsa yang bergantung pada kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak Indonesia.
"Satu-satunya cara untuk meraih kemajuan adalah dengan memastikan pendidikan berkualitas. Tanpa itu, kita akan terus berada dalam lingkaran ketimpangan yang tak terpecahkan," ujar Risdamuddin.
Masa Depan Pendidikan Indonesia: Tantangan yang Menanti
Indonesia masih menghadapi perjalanan panjang dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan merata. Masalah anggaran, kualitas tenaga pendidik, dan pemerataan fasilitas pendidikan adalah isu utama yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Tantangan ini tidak akan mudah, tetapi dengan komitmen yang kuat dari seluruh elemen bangsa, pendidikan Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit dan meraih masa depan yang lebih cerah.*
(r/NI)