Narasi Indonesia.com, Mataram - Negara Indonesia secara sistem menganut sistem Demokrasi salah satu pilar utama Negara Demokrasi adalah adanya keadilan yang sama dalam hukum (equality before the Law) dan perlindungan yang sama di depan Hukum (Protection On the Law. Dengan Demikian proses penegakkan hukum kita mengacu pada upaya melindungi hak2 korban dan melindungi hak pelaku (tersangka) secara bersamaan.
Perdebatan soal sah tidaknya penahanan terhadap Saudari Badai NTB' menggema di media sosial' baik dari Akademisi' Pemerhati Hukum' Praktisi maupun masyarakat diluar Disiplin Hukum itu sendiri:' Perdebatan itu harus diliat sebagai upaya kelompok-kelompok sosial' dalam rangka mendorong penegakan hukum yang transparan' profesional dan berintegritas.
Terkait prosedur, mekanisme dan syarat penahanan seorang tersangka' dalam kerangka Hukum Di Indonesia' di aturan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan sudah diatur secara limitatif dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1 sampai 5) dan ketentuan Per kapolri 12 tahun 2019 TENTANG (PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PENANGANAN PERKARA PIDANA DI LINGKUNGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA). Dalam ketentuan Pasal 85' Malapetaka NTB ketentuan tentang penahanan terhadap orang yang sudah di tetapkan sebagai tersangka mendasari pada dua syarat (Alasan).
Pertama. Alasan subjektif ini terkait dengan Pasal 21 ayat (1) “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.
Kedua. Alasan objektif penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Apa yang dilakukan oleh Polres Kota Bima dalam hal ini penyidik yang menangani Laporan Dugaan Tindak Pidana Penganiayaan' masuk dalam kategori Alasan Subyektif. Untuk dipahami ketentuan Pasal 21 itu sifatnya Alternatif' bukan komulatif' terpenuhi ayat 1 saja sudah bisa ditahan. Bagi Praktisi' pemerhati hukum dan akademisi hal semacam itu bukan hal yang harus diperdebatkan' karena prinsipnya sesuatu yang sudah jelas dan terang tidak perlu diperdebatkan.
Tafsiran masyarakat awal soal kewenangan dan hak penyidik menahan tersangka' bertendesi politik itu sah2 saja' tapi langkah yang dilakukan oleh penyidik tidak bisa di kategorisasikan sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum' sepanjang perbuatan/tindakan penyidik itu tidak dinyatakan melawan hukum oleh UU atau aturan turunannya. Soal perlakuan yang berbeda-beda dalam proses penegakkan hukum' pengalaman saya sebagai praktisi Hukum' itu bergantung sejauh mana kasus menjadi atensi publik dan kelompok tertentu' selain itu peran simbol dan tanda memainkan peran penting dalam mempercepat dan memperlambat proses hukum yang ada' termaksud soal acces to justice oleh tersangka dan Lawyernya.
Penting di pahami juga adalah Sistem peradilan pidana Indonesia yang dijadikan rujukan dalam prosedur penegakkan hukum materil' pada tataran teori dan praktiknya menganut mixed system dalam proses penegakkan hukumnya' yaitu Pertama. (crime control Model) merupakan model pengendalian kejahatan yang berfokus pada sistem yang efisien dengan fungsi terpenting adalah menekan dan mengendalikan kejahatan untuk menjamin keamanan masyarakat dan ketertiban umum. Dalam model ini, pengendalian kejahatan lebih penting bagi kebebasan individu. Pada Crime Control Model berlaku asas (presumption of guilty). Dan kedua (Due proces model) yang mengutamakan kualitas dan perlindungan terhadap individu dari kesewenang-wenangan kekuasaan negara (Polisi, Jaksa dan Hakim) pada Due Proces Model berlaku Asas (Presumption of innocence).
Satu hal yang menarik untuk dicermati secara mendalam dan dilakukan analisis secara kritis komprehensif' apa yang dilakukan oleh penyidik Polres Kota Bima' Yaitu dilakukannya Tes Urine kepada tersangka Tindak Pidana Penganiayaan ketentuan Pasal 351 Ayat (1) KUHP' pada hal tes urine hanya lazim dilakukan kepada terduga dan/atau tersangka tindak pidana Narkotika' sebab makna tes urine dalam hukum pembuktian sebagai alat bukti ketentuan Pasal 184 KUHAP' kegunaannya adalah untuk menerangkan benar atau tindak sebagai pengunaan aktif Narkotika. Kecuali tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh tersangka berhubungan dan atau berkaitan dengan tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh tersangka' Barangkali bisa diterima secara logis dan dipahami Leggal Reasoning dari apa yang dilakukan oleh Polres Kota Bima.
Apa yang dilakukan oleh Polres Kota Bima terhadap Tes Urine kepada tersangka' dalam prespektif saya melampaui Norma' prosedur dan mekanisme hukum yang dapat dibenarkan' selain tidak relevan dan itu terkesan dipaksakan untuk dilakukan terhadap tersangka Tindak Pidana Penganiayaan. Penegakkan hukum modern harus mendasari pada dua prinsip hukum yaitu Protection on The Law dan Equal Justice Ubder The Law' jika diabaikan dua prisip hukum ini maka yang terjadi adalah Pengadilan Jalanan (street justice).*
Oleh:
Safran, SH., MH.